kali ini menceritakan pengalaman Sex antara Seorang Pria dan pegawai salon plus-plus. Dimana kisah ini berawal dari pertemuan mereka diangkot, dan dilanjutkan di salon dimana wanita itu bekerja. Pada akhirnya mereka berdua melakukan hubungan suami istri di salon dimana wanita itu bekerja. Mau tahu kelanjutan ceritanya, Langsung aja yuk baca dan simak baik baik cerita dewasa ini.anganku.com
Cuaca Ibu kota negara kita ini terasa begitu panas, hal ini menambah hawa panas suasana di dalam angkot. Saat itu kurang lebih 5 menit lagi aku sampai kantorku, berhubung kerjaan hari ini sudah kukerjakan semalam, maka aku memutuskan untuk meneruskan perjalanku dengan angkot ini, lagdian masih ada waktu luang 2 jam lagi. Ketika angin yang tertiup dari sela jendela angkot sedang kunikmati, terciumlah aroma khas seorang wanita, bau dari wanita setengah baya memang agak lain, tetapi aroma ini mampu membuat seorang prdia menerawang hingga jauh ke alam yang belum pernah pria rasakan. Ketika aku sedang menikmati aroma badan wanita itu, aku terkagetkan oleh ucapan wanita itu,anganku.com
“ Dek.., tolong dong jendelanya ditutup sedikit, jangan dibuka lebar-lebar , nanti saya bisa masuk angin ”, kata seorang wanita setengah baya di depanku pelan.
Aku sejenak terdiam, dan bengong memperhatikan wanita setengah baya itu,
“ Eh dek, denger nggak sih, jendelanya tolong dirapetin sedikit.., ” katanya lagi.
“ I…i … Ini mksdnya …? ” kataku.
“ Iya itu, bener … ”
Seketika itu juga aku menutup jendela angkot dan melihat kearahnya lagi,
“ Terima kasih, ” ucapnya.
“ I… i… iya sama-sama ” balasku,
Sebenenarnya aku ingin sekali ada bahan yang yang bisa kami omongkan lagi, agar aku tidak perlu curi-curi pandang kepadanya. Ketika itu pandagan mataku aku melirik kearah lehernya, tiba-tiba saja mataku terarah dadanya yang terbuka cukup lebar yang memperlihatkan belahan payudaranya. Sebenarnya aku belum pernah bicara di angkot dengan seorang wanita, apalagi separuh baya lagi. Kalau kini aku berani pasti karena dadanya terbuka, pasti karena peluhnya yang membasahi leher, pasti karena aku terlalu terbuai lamunan. Dia malah melengos. . Lalu asyik membuka tabloid. . Aku tidak dapat lagi memandanginya. Kantorku sudah terlewat. Aku masih di atas angkot. Perempuan paruh baya itu pun masih duduk di depanku. Masih menutupi diri dengan tabloid.
Tidak lama wanita itu mengetuk langit-langit angkot. Sopir menepikan kendaraan persis di depan sebuah salon. Aku perhatikan dia sejak bangkit hingga turun. Angkot bergerak pelan, aku masih melihat ke arahnya, untuk memastikan ke mana arah wanita itu. ketika aku mengikuti dia tersenyum, menantang dengan mata genit sambil mendekati pintu salon. Dalm fikiranku bertanya tanya, Dia kerja di sana, ataukah dia mau kesalon itu. Matanya dikedipkankan, bersamaan masuknya angkot lain di belakang angkotku tadi. Sungguh,dadaku tiba-tiba berdetak kencang sekali,anganku.com
“ Bang, Bang kiri Bang..! ”
Semua penumpang menoleh ke arahku. Apakah suaraku mengganggu ketenangan mereka ?,
“ Pelan-pelan suaranya kan bisa Dek, ” sang supir menggerutu sambil memberikan kembaldian.
Aku membalik arah lalu berjalan cepat, penuh semangat. Satu dua, satu dua. Yes.., akhirnya. Namun, tiba-tiba keberandianku hilang. Apa katanya nanti ? Apa yang aku harus bilang, lho tadi kedip-kedipin mata, maksudnya apa ? Mendadak jari tanganku dingin semua. Wajahku merah padam. Lho, salon kan tempat umum. Semua orang bebas masuk asal punya uang. Bodoh amat. Come on lets go! Langkahku semangat lagi. Pintu salon kubuka.
“ Selamat siang Mas, ” kata seorang penjaga salon,
“ Potong, creambath, facial atau massage (pijat)..? ”
“ Massage, boleh. ” ujarku sekenanya.
Aku dibimbing ke sebuah ruangan. Ada sekat-sekat, tidak tertutup sepenuhnya. Tetapi sejak tadi aku tidak melihat wanita yang lehernya berkeringat yang tadi mengerlingkan mata ke arahku. Ke mana dia ? Atau jangan-jangan dia tidak masuk ke salon ini, hanya pura-pura masuk. Ah. Shit! Aku tertipu. Tapi tidak apa-apa toh tipuan ini membimbingku ke alam lain. Dulu aku paling anti masuk salon. Kalau potong rambut ya masuk ke tukang pangkas di pasar. Ah.., wanita yang lehernya berkeringat itu begitu besar mengubah keberandianku,
“ Buka bajunya, celananya juga, ” ujar wanita tadi manja menggoda,
“ Nih pake celana ini..! ”
Aku disodorkan celana pantai tapi lebih pendek lagi. Bahannya tipis, tapi baunya harum. Garis setrikaannya masih terlihat. Aku menurut saja. Membuka celanaku dan bajuku lalu gantung di kapstok. Ada dipan kecil panjangnya dua meter, lebarnya hanya muat badanku dan lebih sedekit. Wanita muda itu sudah keluar sejak melempar celana pijit. Aku tiduran sambil baca majalah yang tergeletak di rak samping tempat tidur kecil itu. Sekenanya saja kubuka halaman majalah.
“ Tunggu ya..! ” ujar wanita tadi dari jauh, lalu pergi ke balik ruangan ke meja depan ketika dia menerima kedatanganku.
“ Mbak Fera.., udah ada pasien tuh, ” ujarnya dari ruang sebelah. Aku jelas mendengarnya dari sini.
Kembali ruangan sepi. Hanya suara kebetan majalah yang kubuka cepat yang terdengar selebihnya musik lembut yang mengalun dari speaker yang ditanam di langit-langit ruangan.anganku.com
Langkah sepatu hak tinggi terdengar, pletak-pletok-pletok. Makin lama makin jelas. Dadaku mulai berdegup lagi. Wajahku mulai panas. Jari tangan mulai dingin. Aku makin membenamkan wajah di atas tulisan majalah.
“ Halo..! ” suara itu mengagetkanku.
Hah… Suara itu lagi. Suara yang kukenal, itu kan suara yang meminta aku menutup kaca angkot. Dadaku berguncang. Haruskah kujawab sapaan itu ? Oh.., aku hanya dapat menunduk, melihat kakinya yang bergerak ke sana ke mari di ruangan sempit itu. Betisnya mulus ditumbuhi bulu-bulu halus. Aku masih ingat sepatunya tadi di angkot. Hitam. Aku tidak ingat motifnya, hanya ingat warnanya.
“ Mau dipijat atau mau baca, ” ujarnya ramah mengambil majalah dari hadapanku,
“ Ayo tengkurap..!!! ”
Tangannya mulai mengoleskan cream ke atas punggungku. Aku tersetrum. Tangannya halus. Dingin. Aku kegeldian menikmati tangannya yang menari di atas kulit punggung. Lalu pijitan turun ke bawah. Dia menurunkan sedekit tali kolor sehingga pinggulku tersentuh. Dia menekan-nekan agak kuat. Aku meringis menahan sensasasi yang waow..! Kini dia pindah ke selangkangan, agak berani dia masuk sedekit ke selangkangan. Aku meringis merasai sentuhan kulit jarinya. Tapi belum begitu lama dia pindah ke betis.
“ Balik badannya..! ” pintanya.
Aku membalikkan badanku. Lalu dia mengolesi dadaku dengan cream. Pijitan turun ke perut. Aku tidak berani menatap wajahnya. Aku memandang ke arah lain mengindari adu tatap. Dia tidak bercerita apa-apa. Aku pun segan memulai cerita. Dipijat seperti ini lebih nikmat diam meresapi remasan, sentuhan kulitnya. Bagiku itu sudah jauh lebih nikmat daripada bercerita. Dari perut turun ke selangkangan. Ah, selangkanganku disentuh lagi, diremas, lalu dia menjamah betisku, dan selesai. Dia berlalu ke ruangan sebelah setelah membereskan cream. Aku hanya ditinggali handuk kecil hangat. Kuusap sisa cream. Dan kubuka celana pantai. Astaga. Ada cairan putih di celana dalamku. Di kantor, aku masih terbayang-bayang wanita yang di lehernya ada keringat. Masih terasa tangannya di punggung, dada, perut, selangkangan. Aku tidak tahan.
Esoknya, dari rumah kuitung-itung waktu. Agar kejadian kemarin terulang. Jam berapa aku berangkat. Jam berapa harus sampai di Ciledug, jam berapa harus naik angkot yang penuh gelora itu. Ah, Aku terlambat setengah jam. Padahal, wajah wanita setengah baya yang di lehernya ada keringat sudah terbayang. Ini gara-gara ibuku menyuruh pergi ke rumah Tante Eni. Bayar arisan. Tidak apalah hari ini tidak ketemu. Toh masih ada hari esok. Aku bergegas naik angkot yang melintas. Toh, si setengah baya itu pasti sudah lebih dulu tiba di salonnya. Aku duduk di belakang, tempat favorit. Jendela kubuka. Angkot melaju. Angin menerobos kencang hingga seseorang yang membaca tabloid menutupi wajahnya terganggu.anganku.com
“ Mas Tut.. ” hah..? suara itu lagi, suara wanita setengah baya yang kali ini karena mendung tidak lagi ada keringat di lehernya. Dia tidak melanjutkan kalimatnya.
Aku tersenyum. Dia tidak membalas tapi lebih ramah. Tidak pasang wajah perangnya.
“ Kayak kemarinlah.., ” ujarnya sambil mengangkat tabloid menutupi wajahnya.
Begitu kebetulankah ini? Keberuntungankah? Atau kean, karena dia masih mengangkat tabloid menutupi wajah? Aku kira aku sudah terlambat untuk bisa satu angkot dengannya. Atau jangan-jangan dia juga disuruh ibunya bayar arisan. Aku menyesal mengutuk ibu ketika pergi. Paling tidak ada untungnya juga ibu menyuruh bayar arisan.
“ Mbak Fera.., ” gumamku dalam hati.
Perlu tidak ya kutegur? Lalu ngomong apa? Lha wong Mbak Fera menutupi wajahnya begitu. Itu artinya dia tidak mau diganggu. Mbak Fera sudah turun. Aku masih termangu. Turun tidak, turun tidak, aku hitung kancing. Dari atas: Turun. Ke bawah: Tidak. Ke bawah lagi: Turun. Ke bawah lagi: Tidak. Ke bawah lagi: Turun. Ke bawah lagi: Tidak. Ke bawah lagi: Hah habis kancingku habis. Mengapa kancing baju cuma tujuh?
Hah, aku ada ide: toh masih ada kancing di bagian lengan, kalau belum cukup kancing Bapak-bapak di sebelahku juga bisa. Begini saja daripada repot-repot. Anggap saja tdiap-tdiap baju sama dengan jumlah kancing bajuku: Tujuh. Sekarang hitung penumpang angkot dan supir. Penumpang lima lalu supir, jadi enam kali tujuh, 42 hore aku turun. Tapi eh.., seorang penumpang pakai kaos oblong, mati aku. Ah masa bodo. Pokoknya turun.
“ Kiri Bang..! ”
Aku lalu menuju salon. Alamak.., jauhnya. Aku lupa kelamaan menghitung kancing. Ya tidak apa-apa, hitung-hitung olahraga. Hap. Hap.
“ Mau pijit lagi..? ” ujar suara wanita muda yang kemarin menuntunku menuju ruang pijat.
“ Ya. ”
Lalu aku menuju ruang yang kemarin. Sekarang sudah lebih lancar. Aku tahu di mana ruangannya. Tidak perlu diantar. Wanita muda itu mengikuti di belakang. Kemudian menyerahkan celana pantai.
“ Mbak Fera, pasien menunggu, ” katanya.
Majalah lagi, ah tidak aku harus bicara padanya. Bicara apa? Ah apa saja. Masak tidak ada yang bisa dibicarakan. Suara pletak-pletok mendekat.
“ Ayo tengkurap..! ” kata wanita setengah baya itu.
Aku tengkurap. Dia memulai pijitan. Kali ini lebih bertenaga dan aku memang benar-benar pegal, sehingga terbuai pijitannya.
“ Telentang..! ” katanya.
Kuputuskan untuk berani menatap wajahnya. Paling tidak aku dapat melihat leher yang basah keringat karena kepayahan memijat. Dia cukup lama bermain-main di perut. Sesekali tangannya nakal menelusup ke bagian tepi celana dalam. Tapi belum tersentuh kepala kejantanankuku. Sekali. Kedua kali dia memasukkan jari tangannya. Dia menyenggol kepala kejantanankuku. Dia masih dingin tanpa ekspresi. Lalu pindah ke pangkal selangkangan. Ah mengapa begitu cepat. Jarinya mengelus tdiap mili selangkanganku. Kejantananku sudah mengeras. Betul-betul keras. Aku masih penasaran, dia seperti tanpa ekspresi. Tetapi eh.., diam-diam dia mencuri pandang ke arah kejantananku. Lama sekali dia memijati pangkal selangkanganku. Seakan sengaja memainkan Kejantananku. Ketika Kejantananku melemah dia seperti tahu bagaimana menghidupkannya, memijat tepat di bagian pangkal selangkangan.
Lalu dia memijat lutut. Kejantananku melemah. Lalu dia kembali memijat pangkal selangkanganku. Ah an, aku dipermainkan seperti anak bayi. Selesai dipijat dia tidak meninggalkan aku. Tapi mengelap dengan handuk hangat sisa-sisa cream pijit yang masih menempel di badanku. Aku duduk di tepi dipan. Dia membersihkan punggungku dengan handuk hangat. Ketika menjangkau pantatku dia agak mendekat. Bau badannya tercium. Bau badan wanita setengah baya yang yang meleleh oleh keringat. Aku pertegas bahwa aku mengendus kuat-kuat aroma itu. Dia tersenyum ramah. Eh bisa juga wanita setengah baya ini ramah kepadaku.Lalu dia membersihkan selangkanganku sebelah kiri, ke pangkal selangkangan.anganku.com
Ketika Kejantananku berdenyut-denyut, Sengaja kuperlihatkan agar dia dapat melihatnya. Di balik kain tipis, celana pantai ini dia sebetulnya bisa melihat arah turun naik Kejantananku. Kini pindah ke selangkangan sebelah kanan. Dia tepat berada di tengah-tengah. Aku tidak menjepit badannya. Tapi kakiku saja yang seperti memagari badannya. Aku membayangkan dapat menjepitnya di sini. Tetapi, bayangan itu terganggu. Terganggu wanita muda yang di ruang sebelah yang kadang-kadang tanpa tujuan jelas bolak-balik ke ruang pijat. Dari jarak yang begitu dekat ini, aku jelas melihat wajahnya. Tidak terlalu ayu. Hidungnya tidak mancung tetapi juga tidak pesek. Bibirnya sedang tidak terlalu sensual.anganku.com
Nafasnya tercium hidungku. Ah segar. Payudara itu dari jarak yang cukup dekat jelas membayang. Cukuplah kalau tanganku menyergapnya. Dia terus mengelap selangkanganku. Dari jarak yang dekat ini hawa panas badannya terasa. Tapi dia dingin sekali. Membuatku tidak berani. Ciut. Kejantananku tiba-tiba juga ikut-ikutan ciut. Tetapi, aku harus berani. Toh dia sudah seperti pasrah berada di dekapan kakiku. Aku harus, harus, harus..! Apakah perlu menhitung kancing. Aku tidak berpakaian kini. Lagi pula percuma, tadi saja di angkot aku kalah lawan kancing. Aku harus memulai. Lihatlah, masak dia begitu berani tadi menyentuh kepala Kejantananku saat memijat perut. Ah, kini dia malah berlutut seperti menunggu satu kata saja dariku.
Dia berlutut mengelap selangkangan bagian belakang. Kaki kusandarkan di tembok yang membuat dia bebas berlama-lama membersihkan bagian belakang selangkanganku. Mulutnya persis di depan Kejantananku hanya beberapa jari. Inilah kesempatan itu. Kesempatan tidak akan datang dua kali. Ayo. Tunggu apa lagi. Ayo cepat dia hampir selesai membersihkan belakang selangkangan. Ayo..! Aku masih diam saja. Sampai dia selesai mengelap bagian belakang selangkanganku dan berdiri. Ah bodoh. Benarkan kesempatan itu lewat. Dia sudah membereskan peralatan pijat. Tapi sebelum berlalu masih sempat melihatku sekilas.
Betulkan, dia tidak akan datang begitu saja. Badannya berbalik lalu melangkah. Pletak, pletok, sepatunya berbunyi memecah sunyi. Makin lama suara sepatu itu seperti mengutukku bukan berbunyi pletak pelok lagi, tapi bodoh, bodoh, bodoh sampai suara itu hilang. Aku hanya mendengus. Membuang napas. Sudahlah. Masih ada esok. Tetapi tidak lama, suara pletak-pletok terdengar semakin nyaring. Dari iramanya bukan sedang berjalan. Tetapi berlari. Bodoh, bodoh, bodoh. Eh.., kesempatan, kesempatan, kesempatan. Aku masih mematung. Duduk di tepi dipan. Kaki disandarkan di dinding. Dia tersenyum melihatku.anganku.com
“ Maaf Mas, sapu tangan saya ketinggalan, ” katanya.
Dia mencari-cari. Di mana? Aku masih mematung. Kulihat di bawahku ada kain, ya seperti saputangan.
“ Itu kali Mbak, ” kataku datar dan tanpa tekanan.
Dia berjongkok persis di depanku, seperti ketika dia membersihkan selangkangan bagian bawah. Ini kesempatan kedua. Tidak akan hadir kesempatan ketiga. Lihatlah dia tadi begitu teliti membenahi semua perlatannya. Apalagi yang dapat tertinggal? Mungkin sapu tangan ini saja suatu kealpaan. Ya, seseorang toh dapat saja lupa pada sesuatu, juga pada sapu tangan. Karena itulah, tidak akan hadir kesempatan ketiga. Ayo..!
“ Mbak.., selangkanganku masih sakit nih..! ” kataku memelas, ya sebagai alasan juga mengapa aku masih bertahan duduk di tepi dipan.
Dia berjongkok mengambil sapu tangan. Lalu memegang selangkanganku,
“ Yang mana..? ”
Yes..! Aku berhasil.
“ Ini.., ” kutunjuk pangkal selangkanganku.
“ Besok saja Sayang..! ” ujarnya.
Dia hanya mengelus tanpa tenaga. Tapi dia masih berjongkok di bawahku.
“ Yang ini atau yang itu..? ” katanya menggoda, menunjuk Kejantanankuku.
Darahku mendesir. Kejantanankuku tegang seperti mainan anak-anak yang dituip melembung. Keras sekali.
“ Jangan cuma ditunjuk dong, dipegang boleh. ”
Dia berdiri. Lalu menyentuh Kejantananku dengan sisi luar jari tangannya. Yes, Aku bisa dapatkan dia, wanita setengah baya yang meleleh keringatnya di angkot karena kepanasan. Dia menyentuhnya. Kali ini dengan telapak tangan. Tapi masih terhalang kain celana. Hangatnya, bdiar begitu, tetap terasa. Aku menggelepar.
“ Sst..! Jangan di sini..! ” katanya.
Kini dia tidak malu-malu lagi menyelinapkan jemarinya ke dalam celana dalamku. Lalu dekocok-kocok sebentar. Aku memegang teteknya. Bibirku melumat bibirnya.
“ Jangan di sini Sayang..! ” katanya manja lalu melepaskan sergapanku.
“ Masih sepi ini..! ” kataku makin berani.
Kemudian aku merangkulnya lagi, menyiuminya lagi. Dia menikmati, tangannya mengocok Kejantananku.
“ Besar ya..? ” ujarnya.
Aku makin bersemangat, makin membara, makin terbakar. Wanita setengah baya itu merenggangkan bibirnya, dia terengah-engah, dia menikmati dengan mata terpejam.
“ Mbak Fera telepon.., ” suara wanita muda dari ruang sebelah menyalak, seperti bel dalam pertarungan tinju.
Mbak Fera merapihkan pakaiannya lalu pergi menjawab telepon.
“ Ngapadian sih di situ..? ” katanya lagi seperti iri pada Fera.
Aku mengambil pakaianku. Baru saja aku memasang ikat pinggang, Fera menghampiriku sambil berkata,
“ Telepon aku ya..! ”
Dia menyerahkan nomor telepon di atas kertas putih yang disobek sekenanya. Pasti terburu-buru. Aku langsung memasukkan ke saku baju tanpa mencermati nomor-nomornya. Nampak ada perubahan besar pada Fera. Dia tidak lagi dingin dan ketus. Kalau saja, tidak keburu wanita yang menjaga telepon datang, dia sudah melumat Kejantananku. Lihat saja dia sudah separuh berlutut mengarah pada Kejantananku. Untung ada tissue yang tercecer, sehingga ada alasan buat Fera. Dia mengambil tissue itu, sambil mendengar kabar gembira dari wanita yang menunggu telepon. Dia hanya menampakkan diri separuh badan.
“ Mbak Fera.., aku mau makan dulu. Jagain sebentar ya..! ”
Ya itulah kabar gembira, karena Fera lalu mengangguk. Setelah mengunci salon, Fera kembali ke tempatku. Hari itu memang masih pagi, baru pukul 11.00 siang, belum ada yang datang, baru aku saja. Aku menanti dengan debaran jantung yang membuncah-buncah. Fera datang. Kami seperti tidak ingin membuang waktu, melepas pakaian masing-masing lalu memulai pergumulan. Fera menjilatiku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku menikmati kelincahan lidah wanita setengah baya yang tahu di mana titik-titik yang harus dituju. Aku terpejam menahan air mani yang sudah di ujung. Bergantdian Fera kini telentang.anganku.com
“ Pijit saya Mas..! ” katanya melenguh.
Kujilati payudaranya, dia melenguh. Lalu Kewanitaannya, basah sekali. Dia membuncah ketika aku melumat klitorisnya. Lalu mengangkang.
“ Aku sudah tak tahan, ayo dong..! ” ujarnya merajuk.
Saat kusorongkan Kejantananku menuju kewanitaannya, dia melenguh lagi.
“ Ah.. Sudah tiga tahun, benda ini tak kurasakan Sayang. Aku hanya main dengan tangan. Kadang-kadang ketimun. Jangan dimasukkan dulu Sayang, aku belum siap. Ya sekarang..! ” pintanya penuh manja.
Tetapi mendadak bunyi telepon di ruang depan berdering. Kring..! Aku mengurungkan niatku. Kring..!
“ Mbak Fera, telepon. ” kataku.
Dia berjalan menuju ruang telepon di sebelah. Aku mengikutinya. Sambil menjawab telepon di kursi dia menunggingkan pantatnya.
“ Ya sekarang Sayang..! ” katanya.
“ Halo..? ” katanya sedekit terengah.
“ Oh ya. Ya nggak apa-apa, ” katanya menjawab telepon.
“ Siapa Mbak..? ” kataku sambil menancapkan Kejantananku amblas seluruhnya.
“ Si Dila, yang tadi. Dia mau pulang dulu menjenguk orang tuanya sakit katanya sih begitu, ” kata Fera.
Setelah beberapa lama menyodoknya, “ Terus dong Yang. Auhh aku mau keluar ah.., Yang tolloong..! ” dia mendesah keras.
Lalu dia bangkit dan pergi secepatnya.
“ Yang.., cepat-cepat berkemas. Sebentar lagi Mbak Mirna yang punya salon ini datang, bdiasanya jam segini dia datang. ”
Kemudian akupun bergegas untuk merapikan diri dan bersiap keluar dari salon itu. Singkat cerita dalam perjalanan pulang aku terbayang-bayang oleh kejadian tadi, sungguh hari ini hari yang sangat sehat. Selesai.,,,,,,,,,,
The post Cerita Dewasa Bergambar Pijat Komplit Mbak Fera appeared first on CeritaSeksBergambar.