Sudah dua bulan aku belum membayar iuran sampah dan iuran keamanan, karena setiap kali Pak Bagong ke rumahku, aku tidak ada di rumah.
Supaya tidak merepotkan Pak Bagong lagi, aku lalu mengantarkannya sendiri ke rumah Pak Bagong.
Tetapi aku tidak bertemu dengan Pak Bagong, aku bertemu dengan istrinya, Bu Rahayu. “Kenapa buru-buru pulang, Dik Erick? Duduk dulu!” suruh Bu Rahayu yang pada waktu ibu memakai pakaian sehari-hari, sehingga tampak payudaranya yang montok dan sangat cocok mengimbangi pinggul dan pantatnya yang sedikit tonggeng.
Ibu Rahayu terbilang cantik di antara para ibu-ibu se RT kalau mereka kumpul untuk senam pagi. Umur Ibu Laila 38 atau 39 begitu karena kedua anaknya baru remaja.
Aku duduk di ruang tamu Pak Bagong ditemani ngobrol oleh Ibu Rahayu. “Biasanya Bapak dari kantor sampai di rumah jam berapa, Bu?” tanyaku. “Maaf lho Bu, beberapa kali Bapak ke rumah nggak ketemu dengan saya.” kataku.
“Namanya juga melayani warga, nggak apa-apa, Dik Erick. Sekarang Dik Erick lagi bisnis apa nih?”
“Masih jadi kuli, Bu.”
“Ahk, bisa aja Dik Erick. Rumah sudah punya, mobil sudah punya, jadi kuli bagaimana? Ayo, kapan mau kenalin pacarnya sama Ibu?”
“Hee.. hee.. kapan ya Bu?” jawabku setengah bercanda. “Masih belum punya calon nih.” lanjutku.
“Ah masa sih belom punya calon? Kamu mau calon yang seperti apa, nanti Ibu carikan!”
“Seperti apa ya? Mungkin… ngg… ngg… seperti Ibu kali…?” jawabku sekenanya. Maksudku bercanda.
“Seperti Ibu? Haa.. haa.. kenapa yang seperti Ibu?”
“Cantik…. baik….”
“Welehh… welehh… welehh… Dik Erick, Ibu cantiknya dimana? Bisa aja deh, Dik Erick!” jawab Ibu Rahayu malu-malu, tapi di dalam hatinya merasa senang dan tersanjung.
Pasti…!
Dalam hati aku heran, kapan aku jadi perayu seperti begini.
“Jujur aja Bu, kalo saya melihat Ibu sama Farah, saya sering menganggap Ibu sama Farah itu adik kakak, lho.” lanjutku.
“Masa sih Ibu masih seperti anak gadis, badan Ibu sudah kendor sana-sini begitu…” jawab Ibu Rahayu yang kemudian berdiri dan memperhatikan tubuhnya sendiri.
Dasternya ditarik ke belakang agar melekat ke tubuhnya, hasilnya tubuh aduhainya tercetak. Terlihat jelas lekuk pinggul dan dadanya. Kemudian dia berputar-putar sambil mengamati tubuhnya, tentu saja mataku juga ikut mengamati atau lebih tepatnya menikmati tubuhnya.
“Bener deh, Bu. Ibu sudah membuktikannya sendiri kan? Jujur saja Bu, saya juga sering bayangin Ibu sebelum tidur…”
“Wahhh, haa.. haa.. kalau gitu, Ibu saja deh yang jadi pacar kamu…”
“Boleh saja Bu, kalau Pak Bagong mengizinkan..”
“Duuhh… aduhh… mimpi apa ya Ibu semalam?”
Aku memberanikan diri mengulurkan tanganku memegang tangan Ibu Rahayu dengan agak gugup, karena takut ditolak. Ibu Rahayu tersenyum manis dan dia pindah duduk di samping aku malahan.
Kami berpegangan tangan dan saling berpandangan. “Dik Erick…” desah Ibu Rahayu menyadarkan aku.
Aku pun berani memeluk Ibu Rahayu, lalu menyodorkan bibirku ke bibirnya yang tipis mungil itu.
Sungguh aku tidak menyangka, tujuanku datang ke rumahnya hanya untuk membayar uang sampah dan uang keamanan, kemudian duduk dan ngobrol bercanda dengan Ibu Rahayu, tapi yang terjadi sekarang adalah bibir kami saling melumat.
Napsuku pun menguasai semua pikiranku. Aku mengarahkan tanganku ke payudaranya. Aku meremas daging kenyal itu. Hmm…. benar-benar masih kencang payudara Ibu Rahayu.
Malahan bibirnya menjadi lebih liar dan lidahnya menelusuri rongga mulutku. Ludah Ibu Rahayu sangat gurih rasanya, sehingga aku sedot sebanyak-banyaknya, lalu kutelan. Bersamaan dengan itu pengait BH yang ada di belakang tubuhnya aku buka.
Sampai disini, aku tidak mampu lagi mengontrol pikiranku. Rasanya aku ingin segera menelanjangi Ibu Rahayu dan menyetubuhinya. Tapi masih di ruang tamu begini, bagaimana? Lagi pula pintu rumah juga terbuka lebar.
Untung saja orang dari luar tidak bisa melihat ke dalam karena pagar rumah Ibu Rahayu ditutup dengan lembaran plastik tidak tembus pandang.
Ibu Rahayu barangkali mengerti dengan kegelisahanku – pastilah Ibu Rahayu sangat mengerti, karena dia sudah napsu banget dengan aku – Ibu Rahayu melepaskan diri dari dekapanku.
“Maaf ya, Bu.“ kataku merapikan rambut Ibu Rahayu yang kubuat acak-acakan.
Ibu Laila justru menatap ke celana pendekku. “Sunat nggak ini, Dik Erick?” tanya Ibu Laila memajukan tangannya ke celana pendekku yang menggelembung besar.
“Kalau nggak, Ibu nggak pengen ya?” tanyaku.
Ibu Laila menyembunyikan wajahnya di dadaku. Aku mencium rambutnya yang wangi. “Pengen Dik Erick, tutup pintu dulu,” jawab Ibu Laila malu-malu.
Aku bangun dari kursi pergi menggembok pintu pagar, sedangkan pintu rumah aku tutup rapat saja.
Di kursi, Ibu Rahayu sudah melepaskan daster dan BH-nya, tapi dadanya yang telanjang ditutupinya dengan daster.
Aku tidak mau tanggung-tanggung lagi. Aku melepaskan semua pakaianku dan dengan bertelanjang bugil, aku menghadap Ibu Rahayu yang duduk di kursi.
Ibu Rahayu menyingkirkan daster yang menutupi dadanya. Payudaranya menggantung montok dan putingnya hitam besar.
Aku membiarkan tangannya mengelus-elus dan meremas-remas penisku yang telanjang. Kemudian ditariknya kulit kulupku ke belakang sehingga kepala penisku menyembul.
Dengan demikian, dia pun mulai menjilat kepala penisku. Aku menikmati saja jilatan Ibu Rahayu sampai ke seluruh batang penisku.
Aku membantu memegangi rambutnya yang terurai supaya tidak menghalangi keasyikannya menjilat. Lalu penisku dimasukkannya ke dalam mulutnya yang hangat. Aku tidak bisa menahan diri lagi saat dia mengulum penisku.
Aku memegang kepalanya, kemudian aku mengocok-ngocokkan penisku di rongga mulutnya. Tidak lama kemudian rasa ngilu mulai menyerang tubuhku, tanda-tanda sebentar lagi air maniku akan keluar.
Aku segera menarik keluar penisku dari dalam mulut Ibu Rahayu. Celana dalamnya aku lepaskan. Ibu cantik ini bertelanjang bulat di depanku. Melihat keberaniannya, aku rasa tidak hanya Pak Bagong dan aku yang menikmati tubuh telanjang Ibu Rahayu, tapi biarlah. Itu urusan pribadinya.
Dia masih duduk di kursi. Aku menaikkan kedua kakinya ke tempat duduk dan membuka lebar pahanya, sekaligus menikmati vaginanya yang berbulu hitam tipis itu.
Belahannya mekar melebar dan lubangnya menganga berwarna merah.
Aku mulai berlutut di lantai menghadap ke paha Ibu Rahayu yang terkangkang. “Akkhh… Dik Erickkk…!” jeritnya dan dia menggeliat saat lidahku menyentuh kelentitnya.
Aku kira vagina wanita ini wangi, tapi sama saja amisnya dengan vagina wanita yang lain. Tapi lubangnya yang mengeluarkan banyak lendir sampai mengalir turun ke anusnya itu, segera kuhisap dengan mulutku. Lendirnya terasa asin-asin gurih.
Aku sedot dan aku telan. Lendir di dalam lubang vaginanya juga aku bersihkan dengan memasukkan lidahku dan aku jilat dinding vagina Ibu Laila.
“Akkhh… aaakhh… aakkhh… Dik Erickkk…. Dik Erickkk… nggak tahan lagi Ibuu…“ rintihnya sambil mencengkeram kuat rambutku.
Rasanya belum puas aku dengan aurat Ibu Rahayu. Gantian lubang anusnya yang aku jilat dan hisap, sedangkan jari telunjuk dan jari tengahku masuk ke dalam lubang vaginanya. Aku meremas-remas lubang vaginanya itu sementara jari jempolku mengurut biji kelentintnya.
“Sshhooohhhh…. ooooohhhh… oohhhh…. Ibu gak tahan… Ibu gak tahannnn…. “ teriaknya menggelinjang hebat disertai dengan kedua pahanya kejang-kejang.
Aku tahu Ibu Rahayu sedang orgasme, tapi aku segera menyeretnya turun ke karpet. Di situ aku menindihnya dan mengarahkan penisku ke lubang vaginanya. Kemudian dengan menekan penisku, srretttt… blleesss… akkkhhhhhhh…. teriak Ibu Rahayu, penisku yang panjang gemuk itu tertelan masuk ke dalam lubang vaginanya.
Aku mulai memaju-mundurkan penisku. “Aghhhhh…. aghhh…. agh…” rintih Ibu Rahayu bergetar menerima pompaanku. Kepalanya terdongak sambil memejamkan matanya.
Kadang aku pompa cepat, kadang aku pompa lambat. Kadang saat pompaanku lambat, tiba-tiba aku dorong keras sambil mulutku menghisap-hisap puting payudaranya.
Ibu Rahayu cuma bisa merintih-rintih keenakan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya kesana kemari.
“Enak ya, Bu?”
“Iyaa… enakk… Dik Erickkk…“ racau Ibu Rahayu.
Aku hanya kasihan dengan Pak Bagong, tubuh istrinya kunikmati. Bahkan aku menyemburkan air maniku di dalam vagina istrinya.
Tubuhku ambruk dalam pelukkan Ibu Rahayu. “Jangan hanya sampai di sini,” kataku. “Saya ingin anak saya lahir dari rahim Ibu…”
Manjanya Ibu Rahayu.
Dia mencium pipiku bertubi-tubi. Kami sangat menikmati hari-hari kami berdua. Kadang-kadang kami jalan-jalan di mall, kadang-kadang kami nonton di bioskop dan Ibu Rahayu bangga dengan perutnya yang besar. Sengaja dipakainya pakaian yang ketat-ketat.