Jalan Jaksa
Pertama maafkanlah Rudi yang telah lancang berani menulis surat ini. Sudah lima hari Rudi meratap dan menyesali diri akibat memikirkan perbuatan bejat yang Rudi perbuat pada Ibu. Rudi khilaf Bu!. Malam ini Rudi akan bunuh diri sebagai penebusan dosa. Selamat tinggal Bu Tami.
Salam hormat Rudi
***
Tanganku bergetar menuliskan surat singkat yang kutujukan kepadanya. Ingin kuuntai lebih banyak kata penyesalan tapi tak ada yang keluar. Semakin panjang kata, makin dalam rasa penyesalan. Sebuah rasa sesal karena menjadi seorang pemerkosa. Menjadi pemerkosa tak seindah yang biasa kubaca di kisah kisah koran . Tindak pemerkosaan hanya meninggalkan penyesalan lahir batin. Penyesalan itulah yang kini kutulis dalam sebuah surat kemudian kubungkus rapi dalam sebuah amplop.
Aku sejenak berdiri menatap cermin di dalam kamar. Tubuhku tampak kuyu kehilangan gairah hidup. Sejenak kubasuh wajah untuk menghilangkan bekas-bekas ratapan tanpa akhir. Aku tak mau orang tuaku yang sedang menonton tv di ruang tamu melihat kesedihanku. Mereka tak boleh tau rencanaku mengakhiri hidup. Malam ini dengan kepergianku harga diri mereka akan terjaga.
” Mau kemana Rud??,” ibuku menyapa saat melihatku keluar kamar.
” Keluar bentar Ma!,” jawabku sambil berjalan cepat. Hubungan antara anak dan ibunya sangatlah erat. Seorang ibu bisa mencium gelagat aneh dari sang buah hati cukup dari gerak geriknya. Aku sadar itu, maka tak mau berlama-lama dan secepatnya keluar rumah lalu mengeluarkan motor.
Dari luar aku terlihat baik-baik saja, namun hatiku remuk redam. Rumah yang kutatap merupakan saksi bisu perjalan hidupku 25 tahun di dunia. Suka , duka , senang, susah, semua telah kualami dalam rumah yang penuh kasih ini. Kedua orang tuaku begitu sabar menjadikan anaknya ini seorang manusia. Sayang, perjuangan mereka yang begitu besar kubayar dengan air tuba.
Anaknya hanya bisa tumbuh menjadi seorang laki-laki nista. Pria jahanam perenggut kebahagiaan seorang perempuan cantik. Memikirkannya saja membuatku ingin segera mengakhiri hidup.
” BRRRRRMMMM,” motor kupacu secepat mungkin. Tinggal dua tujuan akhir hidupku ; satu rumah Bu Tami, dua menabrakkan motor ini hingga aku mati. Kedua rencana ini membawa motor yang kubawa melaju kencang sekali mengalahkan tiupan angin. Rumah Bu Tami saja kucapai hanya dalam tempo lima menit.
Begitu besar rasa traumaku terhadap rumah ini membuatku hanya mampir di pagarnya menjatuhkan surat di pekarangan lalu kembali melaju kencang.
BAB II
” Malam Bu, ada surat kaleng dilempar di depan!,” penjaga rumah masuk ke dalam rumah membawa sebuah surat kaleng.
Kubuka isinya lalu membaca cepat. Tulisan tangan si penulis begitu putus asa. Garis tulisannya acak. Bercak-bercak tinta menunjukkan dia sedang berada dalam kondisi labil. Aku tidak suka dengan surat kaleng. Akan tetapi membaca nama penulisnya membuatku membacanya sekaligus beraksi cepat ” Siapkan mobil Joko! Ibu mau keluar!”.
Penjaga yang sekaligus merangkap sebagai driverku langsung berlari ke luar rumah menyiapkan mobil. Tak lama kudengar mobil sudah menyala. Aku menghambur masuk ke dalam kamar mengenakan baju seadanya yang bisa kutemukan. Perasaan cemas mulai merasuk ke dalam hati akibat melihat tulisan tangan pemuda pegawai Pemda yang barusan kubaca. Rudi, nama pemuda itu. Membaca namanya mengembalikan memoriku ketika bertemu pertama kali dengannya ;
Dua minggu lalu, aku resmi menjadi Kepala Kejaksaan Negeri di Kota ini. Sesuai tradisi, setiap pergantian jabatan selalu ditandai dengan acara serah terima jabatan. Acara sertijab mengundang seluruh mitra kerja Kejaksaan termasuk pejabat setempat dan tokoh-tokoh masyarakat.
Kata orang, sertijab kali ini berbeda. Kehadirankulah yang membuat mereka berkata demikian. ” Mengapa begitu?,” tanyaku pada staff ajudan.
” Kerena baru sekarang seorang Kajari dijabat oleh wanita se cantik Ibu dan masih single lagi,” jawabnya
” Bapak-bapak yang hadir bilang ibu cantik dan sexy sekali,” lanjut staffku mengaburkan ingatanku akan sebuah luka lama.Aku tersenyum mendengar jawabannya. Dalam hati aku mengoreksi jawaban stafku. Aku pernah menikah, dulu waktu usiaku masih 24 tahun dan baru saja menapaki karier sebagai seorang jaksa. Meniti bahtera rumah tangga, kata penasihat pernikahan waktu itu, penuh riak dan gelombang. Segala rintangan hanya bisa ditaklukkan dengan persatuan antara suami dan istri. Sayang aku gagal menciptakan persatuan seperti kata penasihat pernikahan. Tidak dengan sosok pendamping hidup seperti mantan suamiku.
” Dasar kamu” cubitku kepadanya. Kantor sengaja memilihkan ajudan wanita agar aku merasa lebih nyaman.
Semua orang yang pernah kutemui selalu mengatakan hal yang sama. Tuhan memang menciptakanku dengan keindahan fisik yang melimpah. Tubuhku tinggi semampai 170 cm, cukup tinggi untuk ukuran wanita, dengan kulit tubuh putih bersih. Wajahku , kata orang, sangat cantik dengan hidung mancung, sepasang lesung pipit, serta bibir penuh. anganku.com Hobiku berolahraga dan makan. Rasa stress selama sepuluh tahun terakhir, awalnya membuatku melarikan diri dari persoalan dengan makan. Hobi makan ini kemudian kuimbangi dengan rajin berolah raga. Siapa sangka perpaduan keduanya membentuk tubuhku menjadi sangat sexy. Apalagi saat makanan tak sehat yang sebelumnya kumakan kuganti dengan makanan sehat tubuhku semakin indah dengan perut rata dan bongkahan pantat membentuk.
Pesona tubuhku yang diimbangi kecantikan alami membuatku memancarkan pesona sensualitas tersendiri. Seluruh tamu undangan yang hadir, baik pria maupun wanita, kusaksikan tersihir dengan tampilanku. Mengenakan pakaian resmi upacara kejaksaan tidak membuaku menjadi jelek. Pakaian berwarna cokelat ini malah semakin membuatku menjadi artis di mata para tamu undangan.
Saat rangkaian upacara telah berlalu, tiba giliran para tamu memberi ucapan selamat. Ucapan selamat tidak hanya ditujukan kepadaku tapi juga kepada pejabat yang lama. Mereka yang memberi selamat kepadaku menatapku dengan takjub. Pada usiaku sekarang aku sudah bisa membaca satu persatu batin mereka ketika memberikan ucapan selamat. Paling banyak diantara mereka mengagumi kecantikanku. Beberapa diantara bapak-bapak yang memiliki pekerjaan mapan terlihat berusaha mencari perhatian. Sebagian kecil terang-terangan berpikiran jorok ketika berjabat tangan.
Usiaku sekarang 35. Cara pandang sudah jauh berbeda dari gadis belia yang mudah tergiur ketampanan buatan. Usia dan pengalaman tak pernah bisa berbohong. Sekarang di tengah kematangan usia, saat pesona buatan manusia seperti harta, tahta, kedudukan telah runtuh, tiba tiba aku kembali menjadi seorang wanita ; Makhluk Tuhan dengan kepekaan perasaan. Dengannya aku dapat menangkap maksud seorang laki-laki cukup dari gerak geriknya.
Daris semua tamu undangan, pria muda tampan ini datang dengan minder menjabat tanganku. ” Selamat ya Bu!,” katanya sambil menundukkan wajah karena malu. Aku menatapnya sepersekian detik dan tau bahwa pemuda di depanku memiliki hati baik. ” Terima kasih Mas,” jawabku sambil memberikan senyuman. Pemuda tampan ini melirikku sekilas dengan kakinya yang bergetar. Dia lalu berlalu digantikan tamu undangan lain.
Meski hanya terjadi secara singkat, pertemuanku dengan pemuda tadi membekas di hati.
” Mau kemana kita Bu??,” driverku bertanya saat aku telah memasuki mobil, sedikit kilas balik peristiwaku dengan si penulis surat terhenti.
” Aku gak tau Jo,” jawabku ragu ” kamu jalan saja!”
Joko menganggukkan kepalanya tanda mengerti dan menginjak gas. Mobil berjalan perlahan meninggalkan pelataran rumah.
BAB III
Aku memacu motorku kencang sehabis melemparkan surat ke pekarangan rumah dinas Bu Tami. Nama yang indah secantik orangnya. Usia beliau mungkin berjarak 10 tahun di atasku tapi wajahnya begitu muda. Ibu Tami pasti pintar merawat dirinya hingga terlihat jauh lebih muda.
Kata orang bijak dibalik wajah cantik seorang wanita tersimpan dua wajah lain, satu bisa membuatmu hidup selamanya, yang lain bisa membunuhmu. Buatku keduanya bekerja. Pada satu sisi pesona Bu Tami begitu luar biasa membiusku hingga ingin membuatku hidup selamanya. Sedangkan sisi berikutnya menerbitkan rasa putus asa dalam hatiku hingga ingin mengakhiri hidup.
Seumur hidup rasa putus asa tak pernah menghantamku sedemikian parah. Siapa sangka kecantikan seorang wanita bisa menyeretku masuk ke dalam jurang keputus asaan. Sekarang, di saat-saat terakhir hidupku akhirnya aku tau musuh terbesar manusia. Musuh itu bernama rasa putus asa akibat kehilangan harapan.
” Seandainya saja malam itu aku tak datang ke rumah dinas Kepala Kejaksaan Negeri, ” sesalku sambil mengingat kembali peristiwa menyedihkan itu ;
Pekerjaanku adalah seorang pegawai Pemda. Setelah lulus dari Fakultas Hukum, aku mencoba mendaftar menjadi PNS dan diterima. Tentu sebagai sarjana hukum aku langsung ditempatkan di bagian hukum Pemda.
Menjadi pegawai di bagian hukum, membuatku banyak berinteraksi dengan para penegak hukum ; Polisi, Jaksa juga Pengadilan. Interaksi yang terjadi bukan semata secara formal namun juga informal yang melibatkan banyak lobi-lobi. Oleh karena kami harus menjalin hubungan yang baik dengan para aparat hukum kami selalu menghadiri acara apa pun yang diadakan oleh mereka.
Sertijab Kajari merupakan momen spesial buatku. Bukan karena acaranya tapi karena sosok Kepala Kejaksaan Negeri cantik bernama Utami. Upacara berjalan membosankan sampai tiba kesempatan memberikan ucapan selamat. Hadirin berebutan menyalami Beliau. Sebagai pegawai rendah, aku dapat kesempatan paling belakang. Meski paling belakang, sebentar melihat kecantikan Beliau sudah cukup membuat hatiku berdebar debar.
Kupikir aku tak akan lagi melihat kecantikan Bu Tami. Tapi adalah nasib yang kemudian kembali mengantarkanku kepada Beliau. Ceritanya waktu itu sudah lewat jam kerja. Waktu sudah jam setengah tujuh malam, tiba sebuah surat perintah langsung dari Pak Bupati yang harus segera dibaca Ibu Kajari. Sebuah surat penting terkait pencegahan korupsi. Tak ada pegawai PNS lagi, waktu itu dikantor selain aku. Bingung dengan surat ini aku menelpon pak Kabag Hukum mencari solusi.
” Bapak Udah pulang Rud, jauh rumah Bapak kalo balik lagi! kamu ajalah yang antar!.”
” Bapak yakin??.”
” Iya yakin toh kamu juga gak bakalan bisa masuk ke dalam rumah! paling cuma sampe gerbang doank. Udah kamu aja yang nganter!.”
” Baik Pak”
Sehabis menelpon aku segera berangkat menuju rumah dinas Kepala Kejaksaan Negeri. Sepanjang jalan jantungku tak henti berdetak kencang. Tangan serta kakiku tiba-tiba dingin tanpa alasan jelas. Entah mengapa kesempatan bertemu dengannya walau hanya sebentar saja telah membuatku begitu antusias.
Aku tiba dua puluh menit kemudian. Bolak balik aku mengaca di spion mobil memastikan tampilanku sudah pantas menemui Beliau. Saking sibuknya mengaca, surat yang akan kuserahkan pada Bu Tami hampir saja tertinggal di mobil.
” Sudah sampai Rud, sebentar lagi kamu bisa melihat kembali kecantikan bidadari milik Jaksa Utami, ” ocehku dalam hati.
Sesampainya di pos jaga ternyata ruangannya begitu sepi. Tak ada seorang pun yang berjaga. Awalnya aku merasa aneh dan ingin mengurungkan niat mencoba masuk ke dalam. Tapi ingatan akan kecantikan wajah Jaksa Utami membuatku menguatkan niat untuk kembali maju.
” CCCKKKKKIIIIIIITTTTTTTT,” kutarik rem tangan sekencang-kencangnya.
Tengah tenggelam dalam ingatan mengenai Bu Tami, seekor kucing melintas tiba-tiba di depanku yang sedang melaju dalam kecepatan tinggi. Tarikan rem seketika yang kulakukan telah membuat motor oleng dan hampir menabrak trotoar. Untunglah kakiku masih bisa mencari pijakan kokoh yang menghalangi motor terjatuh.
” Haaaah….haaaahhhh…haaaaahhh,” aku ngos ngosan. Padahal rencana bunuh diriku melibatkan tabrakan sepeda motor dalam kecepatan tinggi. Dalam bayanganku sepeda motor akan menabrak sebuah kendaraan dan aku akan mati seketika. Sekarang baru dilewati kucing saja keringat dingin di badanku sudah tumpah ruah begini.
” sanggupkah kamu melakukan bunuh diri Rud??,” batinku.
BAB IV
” Bu Tami kita mau kemana??,” driverku bertanya.
Aku tak menjawab. Hanya mengibaskan tangan ke arah spion mobil. Hatiku cemas memikirkan nasib Rudi. Rangkaian kata-katanya dalam surat menguatkan dugaanku bahwa ia bersungguh sungguh ingin mengakhiri hidup.
” Kenapa kamu cemas Tami??,” aku membatin ” bukankah laki-laki itu telah memperkosamu??”
Aku menggeleng sendiri.
” Benar dia telah memperkosaku, tapi….,” sebagian pikiranku menyangkal lalu terbang mengingat kembali kejadian pada malam hari itu ;
Pada malam kejadian, dua orang penjaga rumahku Abu dan Setyo tidak dapat bertugas. Abu mengalami kecelakaan motor pada siang harinya, sedang Setyo dengan berat hati minta ijin padaku untuk menemani kelahiran putranya. Kuberi mereka ijin tanpa berusaha mencari pengganti karena yakin dengan keadaan keamanan rumah.
Kawasan perumahan dinas Jaksa sebenarnya cukup sepi. Hanya ada beberapa rumah yang berdiri, beberapa bahkan tidak dihuni karena banyak aparat kejaksaan yang telah memiliki rumah di luar. Meski demikian status rumahku sebagai tempat tinggal Kepala Kejaksaan Negeri membuatku merasa aman.
Malam itu, berjalan seperti biasa. Setelah beristirahat sehabis pulang kerja, aku melakukan olahraga senam yang biasa kulakukan hampir setiap hari. Seperti sudah kubilang sebelumnya, aku sangat mencintai olahraga. photomemek.com Olahraga adalah sarana untuk menjaga penampilan. Selain itu menjadi janda selama hampir 10 tahun membuatku harus mencari kesibukan guna mengalihkan pikiran dari berpikir yang tidak-tidak. Olahraga adalah jalan yang terbaik.
Pikiran tidak-tidak yang kumaksud tentunya terkait dengan hubungan ranjang. Bagaimanapun panasnya kehidupan ranjang pernah kurasakan selama satu tahun menjalani pernikahan. Mantan suamiku yang usianya berjarak tiga tahun diatasku telah mengajarkan banyak tentang aktifitas olah ranjang. Sebenarnya dia sangatlah piawai dalam memuaskan kebutuhan seksualku yang terbilang tinggi dan meledak-ledak. Kalo bukan karena dia berselingkuh, rumah tangga kami pasti langgeng dan aku tak akan menanggung status janda.
Perselingkuhannya seketika menghilangkan kelihaiannya dalam memuaskan tubuhku. Aku menceraikannya dan dia menghilang dalam hidupku. Sayangnya kenikmatan seksual yang terlanjur kurasakan tak bisa kuhilangkan begitu saja. Kenikmatan itu selalu datang dan menggodaku untuk mencobanya lagi.
Untuk mengatasi bisikan kenikmatan itulah aku selalu berolahraga senam maupun fitness. Kedua olahraga ini bisa menyedot energiku sehingga aku tidak memikirkan kenikmatan bersenggama. Meski pun demikian ketika berolahraga aku senang mengenakan pakaian sexy. Hal ini kulakukan agar aku senantiasa termotivasi untuk membentuk tubuhku menjadi lebih indah.
Malam itu pun aku mengenakan pakaian senam two pieces sexy berwarna merah. Bagian atasnya berbentuk bra sexy dengan tali , sedangkan bawahannya berupa hot pants berwarna senada. Pada saat aku tengah asyik-asyiknya melakukan gerakan-gerakan high impact aku mendengark bunyi bel dipencet. Ada tamu di luar. Penjaga tidak ada. Aku harus membukanya sendiri.
Sejenak kuambil remote dvd yang sedang memutar video senam kemudian ku pause lalu melangkah santai menuju pintu tanpa harus mengganti bajuku dengan yang lebih sopan. Aku wanita yang tidak merasa terganggu dilihat orang ketika sedang berpakaian sexy. Malahan aku merasa senang. Semenjak perceraian, aku merasakan kepuasan ketika memperlihatkan kecantikan maupun kemolekan tubuhku kepada laki-laki lain. Hal itu membuatku merasa muda dan cantik.
Kuintip sejenak ke cela jendela melihat tamu yang datang. Menyadari Rudi yang datang membuatku girang.
” Ada apa Mas,?” sapaku sambil membuka pintu.
Reaksi pertama yang diperlihatkannya ketika melihatku membuat dadaku berdesir. Rudi menatapku dengan pandangan terkesima. Dia cukup lama tak berkedip sebelum sadar lalu menundukkan kepalanya karena malu. Aku selalu senang laki-laki yang mengagumi tubuhku.
” SSssaya diutus Pak Bupati menyerahkan surat ini kepada Ibu, ” jawabnya gemetar.
Aku membaca surat yang diserahkannya. Melihat dari judulnya saja aku tau surat ini perlu dibaca dengan seksama maka kuajak Rudi masuk ke dalam.
” Masuk dulu Mas! saya perlu membaca surat ini”
Pemuda itu masuk dengan tatapan mata tetap tertuju pada keindahan tubuhku.
” Silakan duduk! Mas siapa namanya?,” tanyaku
” Saya Rudi Bu”
” Silakan duduk Mas Rudi!” tawarku sambil berdiri membelakangi Rudi guna mengambil ball point yang terletak di meja kerja.
Aku lama membelakanginya sambil membubuhkan koreksi di baris-baris surat.
Ketika aku tengah asyik membaca, mendadak dari belakang sepasang tangan kokoh laki-laki melingkarkan tangannya dan mencengkram leherku. ” Jangan bergerak Bu!, ” kata Rudi. Satu tangan Rudi telah mengunci leherku, sedang tangan yang lain menjatuhkan surat yang kubaca.
” Apa-apaan ini??,” kataku berusaha melepaskan cengkramannya. Tanganku berusaha mencakar tangan Rudi tapi percuma karena tenaganya jauh lebih besar.
” LEPASKAN! TOLONNGGGGG……….”
Jeritanku segera dibungkam oleh tangan kekar Rudi. Dia mempererat cengkramannya di leher lalu mendorongku agar menuju kamar yang terbuka. Aku terus melawannya namun Rudi seolah mendapat tenaga luar biasa.
Dengan tangan kosong dia mematahkan perlawananku lalu menggendongku menuju kamar. Padahal aku sudah berusaha memukul, menendang, menjambak bahkan mencakar, tapi semuanya ditepisnya tanpa memukul ataupun manampar. Dia hanya mengunciku begitu kuat lalu membopongku.
” JAANGAANNN…JANGAAANNN…TOOLOONGGG” makin keras jeritanku ketika Rudi melemparku ke ranjang tempat tidur.
Berusaha kupukul wajahnya ” Plaaaakkk” pukulanku mengenainya telak di rahang. Rudi sempat limbung tapi segera bangkit dan membalasku dengan menelentangkan tanganku ke atas lalu menguncinya dengan kakinya.
” TOOOLLONGGG” aku meronta ronta.
Rudi tidak mempedulikan perlawananku. Dia mengambil guling, melucuti isinya lalu menggunakan kain penutupnya untuk mengikat tanganku. Kakiku berusaha menendang Rudi. Sebagian tendanganku mengenai punggungnya tapi tidak bisa mencegahnya membawa tanganku ke atas lalu mengikatnya ke bibir ranjang.
Ranjang rumah dinasku masih model kuno dengan besi-besi di atas dan bawa ranjang. Inilah yang membuat Rudi bisa mengikat tanganku ke ranjang. Aku semakin tak berdaya dalam kondisi terikat. ” TOOOLLOONG ….,” jeritanku yang membahana tak berarti karena tidak ada orang yang mendengar.
” GAAABRRUUKKK,” Rudi terjatuh.Rudi kulihat mengambil nafas sejenak sesaat setelah berhasil mengikatku. Dia lengah sekarang. kesempatan ini kupergunakan menendangnya tepat di wajah.
Lama dia kulihat tidak muncul lagi. Mungkin dia pingsan. Aku berusaha membuka ikatan tanganku tapi tak bisa. Rudi mengikatnya dengan demikian kencang.
” Uuuughhh,” Rudi telah bangkit kembali.
Awalnya aku begitu ketakutan dia akan menghujaniku dengan pukulan ataupun tamparan sebagai upaya balasan. Tapi dia hanya berdiri lalu melangkah ke depan tv kemudian menghidupkan kembali dvd yang sempat ku pause kemudian membesarkan suaranya. Rudi melangkah kembali ke ranjang tanpa menyentuhku. Dia melolosi bantal yang ada di ranjang lalu menggunakan kain pembungkusnya untuk mengikat kedua kakiku dalam posisi mengangkang.
Segala upayaku memberontak gagal menghadapi tenaga pemuda yang masih sedemikian kuat seperti Rudi.
Pemuda ini diam sejenak menatapku yang terbujur kaku dalam posisi v. ” JANGGANNN MASSS JANGANNN,” aku meronta terus.
Rudi melangkah ke depan cermin. dia menemukan gunting yang biasa kutaruh disana lalu dibawanya untuk menggunting pakaian senamku. Dalam hitungan detik aku telah dibuatnya telanjang bulat. Rudi cukup lama tidak melakukan apa pun. Ia hanya diam begitu terpesona dengan pemandangan yang dia lihat.
Aku berusaha memanfaatkan momen diamnya untuk menumbuhkan rasa iba di hatinya agar menghentikan niat bejatnya. ” Tolonglah Mas! jangan lakukan…,” pintaku sambil menitikkan air mata.
Rudi tampak iba. Feelingku tidak salah menilai ia sebagai laki-laki baik. bahkan dengan pemandangan begitu mendebarkan hati didepannya ia sempat berhenti sejenak. Rudi terlihat bimbang. Ia sempat turun dari ranjang dan terlihat hendak meninggalkan ruangan. namun ketika ia kembali melihat tubuh mulusku, dia mengurungkan niat ke luar kamar. Alih-alih keluar dari kamar, sekarang ia berlari cepat ke arah ranjang dan mulai menindihku.
” Ammpuuunnn….Amppuuuunnn Massss….JANGGAAAANNNNN…..” aku hanya bisa berteriak minta dikasihani. Rudi datang kembali dengan tenaga yang lebih kuat dari sebelumnya.
Rudi tidak memperkosaku seperti pemerkosa pada umunya. Sepanjang karierku sebagai penegak hukum aku sering bertemu dengan kasus perkosaan. Kebanyakan dari pelaku menggauli korban dengan brutal dan penuh kekerasan. Rudi berbeda.
Bahkan dalam posisi tangan dan kakiku terikat, Rudi tidak pernah menyakitiku. Dia lebih memilih memperlakukan seluruh bagian tubuhku dengan penuh penghormatan. Rudi tidak menyiksaku dengan tenaganya tapi dengan ciumannya yang lembut. Ciumannya terasa begitu memujaku. begitu kontras dengan perkosaan yang dia lakukan, tindakannya selama di ranjang malahan seolah ingin melindungiku.
Bukan kekerasan seksual yang dibawa tapi kelembutan yang berusaha menjaga perasaan korbannya. Kami para wanita makhluk yang lembut. Bisa merasakan lebih baik daripada memikirkan. Barangkali aku salah, tapi kirasakan ciumannya begitu baik. Diawali dari wajahku yang penuh air mata, ia turun perlahan mencium leherku kemudian sejenak bermain-main disana. Puas mempermaikan leher dia mulai beranjak ke area payudara.
” TOOLOOONNGGG, Ammppuunnn Masss….aaaammpuuunnn…”
Aku terus berupaya berontak. ” MMMMMM”, teriakanku tertahan saat merasakan lidahnya mulai mencaplok puting payudara. Dia hisap pelan putingku lalu dijilatinya searah jarum jam. Tangannya digunakan memompa ritmis d iseputaran susu payudara yang tidak dihisap. Hisapan di payudara ini membangkitkan reaksi alamiah dari dalam tubuh. Melalui tindakannya yang perlahan Rudi mengaktifkan hormon-hormonku dan membuatku mulai merasakan rangsangan.
” MMMM…MMMMMM,” aku menggigit bibir.
Rudi begitu tak ingin menyakitiku. Gerakannya dilakukan secara gentle. Pompaannya pun dilakukan dengan begitu penuh rasa sayang.
Perpaduan hisapan disertai pompaan menggantikan jeritanku menjadi desahan syahwati.
” AAAAAAAHHHH, ” aku mendesah tak tahan menghadapi sensasi yang disajikan.
Untunglah Rudi tidak menyadari perubahanku. Dia tampak tegang sehingga tidak sadar apa yang menimpa korbannya. Dari payudara ciumannya mampir ke ketiakku yang jelas terekspose karena tangan terikat ke atas. Rudi menghirup sejenak aroma ketiakku yang selalu harum karena perawatan yang kujalani lalu mulai menciuminya.
Sekali lagi aku takluk. Baru tadi Rudi mengaktifkan hormon nikmatku kini dia bawa hormon nikmat tersebut menyebar ke seluruh penjuru tubuh. Penyalur rasa nikmat itu adalah sensasi di ketiak mulusku. Baru kualami sensasi ketiak yang dijilati oleh laki-laki setampan Rudi. Suamiku dulu tak pernah melakukannya.
” UUUUUHHHHHHH,” aku menjerit terus karena merasakan sensasi geli menggelitik sekaligus terangsang karena rangsangan pada pori pori halus ketiak.
Rudi mulai mengarahkan tangannya menyentuh vaginaku yang terbuka lebar. Kurasakan dia sempat terkejut kala menyadari vaginaku licin tanpa rambut. Jilatannya pada ketiak masih bertahan beberapa lama, sebelum akhirnya Rudi mulai mengarahkan dirinya ke bawah.
” JANGAAANN MASSS JAAANGGAAANNN AAAAAHHHHHH.”
Aku tak dapat mencegahnya. dia mulai melahap vaginaku. dilakukan semua itu dengan cepat. kakiku yang bergetar melakukan perlawanan ditahannya agar tidak melawan. ” HAAAAAHHH AAAAMMPUUUUNNNN……”, aku takluk.
Dengan malu kuakui aku telah takluk dengan serangannya di bagian sensitive. Dulu bersama suamiku aku sangat senang di oral, vaginaku sangat sensitive bila sudah tersentuh lidah yang menari di permukaan.
Sekarang Rudi berada di sana dan dia sangat lihai. Lidahnya menyusur mulai dari dinding terluar vagina hingga menyeruak menembus bagian dalam.
” AAAAAA….AAAAAMMMMPPUUUUNNNN HAAAAHHHHHH” aku menglami ledakan hebat. Sebenarnya aku ingin sekali menahannya, akan tetapi jari Rudi yang datang membantu menekan vaginaku membuatku meletup. Ledakan itu kurasakan diawali dari dasar rahim kemudian menjalar hingga membuat ereksi di putting payudara lalu…semuanya blank.
” ……………..” bahkan suaraku pun menghilang kala ledakan mencapai otak dan membungkam pikiran dalam kabut kenikmatan.
Beberapa lama aku tersetrum sambil terlunjak-lunjak sebelum akhirnya jatuh ngos-ngosan kehabisan nafas.
” Haaaahhh….haaaahhh…,” deru nafasku yang tak beraturan menandakan telah terjadi ledakan dahsyat di dalam diriku .
Beberapa detik aku menikmati kedakan orgasme yang tak terduga. Aku memejamkan mata sambil mengatur nafas tanpa menyadari Rudi telah bangkit dan mengarahkan penisnya ke vaginaku yang sudah basah kuyup.
” MAAASS JANGGAAANN! JANGGAAAAAANNNN!”
Aku berteriak saat menyadari akan segera menerima penetrasi.
Sekali lagi Rudi menyentuh kulitku lembut. Bahasa tubuhnya memintaku agar tidak panik. Tatapan matanya mengajakku untuk tenang.
” Bleeesss,” setelah tatapan mata kami bertemu penisnya mulai menembus liang pertahananku.
” OOOOOHHH FFFUUUCCKKK” akhirnya setelah lebih dari 10 tahun ada lagi penis yang berhasil masuk ke dalam kemaluanku. Sebuah penis muda yang berdiri tegak keras seperti batu. Menembusku dengan mudah serta langsung membuka lebar seluruh rongga dalam vagina. Penis tegak itu memberiku kepuasan. Bukan karena panjang ataupun pendeknya, tapi karena kekerasannya yang begitu dibutuhkan oleh seorang wanita.
Ketika penis itu mulai melakukan gerakan maju mundur aku kembali takluk. Putingku kembali mengeras akibat dorongan dari bawah kemudian kurasakan semburan cairanku sendiri meledak dari dalam rahim.
” CRRIIIT…CRRRIIITTT”
Cairan cintaku meledak seperti air bah yang kemudian membuat seluruh dinding vaginaku mengerut kemudian membuka berulangkali sebagai tanda orgasme telah terjadi. Kontraksi dinding vagina membuat Rudi yang masih muda tak sanggup bertahan. Penisnya juga ikut takluk dipelintir oleh sempitnya lubangku.
” HHHHAAAAAGGHHHHH,” Rudi mengerang keras saat membuang spermanya. Dia begitu baik. Spermanya dibuang ke lantai tanpa mengenaiku.
Aku memejamkan mata kembali berusaha meredam kenikmatan yang telah terjadi.
” Maafkan Rudi ya Bu! Rudi Khilaf!,” kata Rudi yang kuingat kudengar di telinga setelah momen itu. Ia lalu membuka ikatan tangan dan kakiku membuatku bebas. Rudi menatapku iba sesaat lalu lari tunggang langgang ke luar rumah.
” GGUUUBBBBRAAAKKK PRAAAAANNGGG,” bunyi tubuhnya yang berlari kalap lalu menabrak vas bunga menjadi ingatanku yang terakhir.
” AWAAAAASSS JOOOKOOO ADAAA ORAAAANGGGG!”, aku menjerit sejadi jadinya ketika menyadari ada laki-laki meloncat ke depan mobil yang kutumpangi. Lamunanku seketika buyar berganti kepanikan ketika melihat jarak laki-laki itu tinggal sedikit lagi akan menabrak mobil kami.
” CKKKKKKIIIIIITTTTTTTT…..,” Joko menginjak rem dalam-dalam.
BAB V
Motorku sekarang mogok. Tadi hampir manabrak kucing sekarang mogok lalu apa lagi??. Kupinggirkan sejenak motorku sambil mendinginkan kepala.
Mendapat cap sebagai seorang pemerkosa adalah neraka dunia. Bila nanti anak buah Bu Tami berhasil menangkapku lalu dibawa ke penjara, semua napi akan berusaha ” memakanku “. Membayangkannya saja membuatku tak ingin hidup.
Alasan inilah yang membuatku memutuskan mengakhiri hidup. Dunia tidak akan memaafkan seorang pemerkosa. Bukan hanya tak akan mengampuni, dunia malahan akan dengan senang hati menyiksa seorang pemerkosa.
Sebuah perkosaan yang kulakukan karena tak dapat menahan godaan. Pada malam kejadian aku takluk karena melihat kemolekan tubuh Bu Tami. Sejak pintu dibuka lalu memamerkan tubuh Beliau yang hanya berbalut busana senam mini aku sudah hilang kontrol. Apalagi mencium aroma wangi Beliau yang sensual makin membuatku hilang akal. Sebenarnya tubuhku berusaha melawan ketika nafsuku menyuruh membekap tubuhnya. Tapi akal sehatku kalah ketika tak sanggup lagi meredakan api syahwat yang meletup letup kerena pesona tubuhnya.
Ketika akhirnya aku berhasil menggauli Beliau rasanya yang ada hanya penyesalan. Penyesalan tak berujung yang membuatku akan mengakhiri hidup beberapa detik lagi.
Disana ada sebuah mobil sedang melaju kencang. Aku akan meloncat tepat ke depannya lalu mobil itu menghantamku sedemikan kencang hingga aku akan mati seketika.
” Bu Tami maafkanlah Rudi,” sambil berteriak aku melompat ke tengah jalan.
” CCCCKKKKIIIIITTTTTTT ,” mobil menginjak rem secara mendadak.
Aku terdiam pasrah di tengah jalan menantikan detik detik kematian. Bayangan keindahan wajah Bu Tamilah yang kuinggat dalam detik terakhir ini. Senyumnya yang menawan. Suaranya yang lembut. Lekuk lekuk sensual tubuhnya. Semua kenangan manis tentang Beliau akan menutup perjalananku.
” HEI ******! MAU MATI KAMU!,” suara hardikan keras membuatku membuka mata. Dalam jarak begitu dekat, mobil tadi rupanya berhasil mengerem. Sang supir pasti seorang driver piawai. Dia berhasil menarik rem tangan tepat pada waktunya hingga mobil berputar 90 derajat dan berhenti tepat di hadapanku.
Ini yang aku maksud dengan kegagalan total. Pertama kucing, kedua motor mogok, ketiga mobil yang kuiinginkan menabrakku ternyata berhasil berhenti tanpa menyentuh tubuhku sedikit pun.
” SINI KAMU DASAR ANAK TOLOL!,” sang sopir maju ingin menerjangku. Wajar dia terlihat begitu murka terhadapku. Aku memejamkan mata kembali bersiap menerima amukannya.
” JOKO!,” suara lembut itu tak akan kulupa ” BERHENTI!”
Aku membuka mata dan melihat sosok Bu Tami keluar dari mobil yang hendak kujadikan sebagai medium menjemput maut. Masih dengan kecantikan luar biasa, Beliau maju menghampiriku.
Menatapnya maju membuatku manangis. Segala rasa bersalah, malu, dan penyesalan berpadu menjadi satu membuatku tersungkur di kaki beliau.
” Mmmmm mmmmmaaaffkkkannn Buuu….maaaffkkkkannn…..,” aku tak kuasa dan mulai meratap.
” Hhhiikkkk….hhiiiiikkk…..hhhiiikkkk maafkanlah Rudi Bu,” aku memeluk kaki Beliau.
” Bangun Mas!,” begitu lembut Beliau memapahku agar bangun ” Sudah, jangan pernah kamu coba bunuh diri lagi ya!,” kata Beliau sambil mengusap rambut lalu memelukku.
” Ruuudddii….Ruudddii kan pemerkosaaaa Buu…hhiiikkk,”, aku tersedu dalam pelukannya.
Beliau terus mengusap-usap rambutku dengan kehangatan tanpa bicara satu patah kata pun. Dalam rangkulannya aku merasa begitu damai. Tidak perlu kata, hanya sebuah pelukan bisa menghilangkan seluruh keinginan bunuh diri yang semula bersemayam.
Beliau hanya memelukku sambil menghiburku ” jangan panggil Ibu! panggil saja Mbak!. Mbak merasa tua banget kalo kamu panggil Ibu,” candanya berusaha membuat hatiku terhibur.
BAB VI
” Bu ada Mas Rudi,” lapor ajudanku di ruangan dua minggu kemudian.
” suruh masuk !”
Kehidupan telah kembali normal. Rudi dapat kuyakinkan agar mengurungkan niatnya membunuh diri. Hubungan kami justru semakin erat sekarang. Cemistry antara aku dan Rudi begitu pas. Dia merupakan penyeimbang buatku sekaligus pengisi lubang besar yang telah hilang sejak sepuluh tahun silam.
Rudi sering datang ke kantor menjelang bel pulang kantor seperti sekarang. Kami sering mendiskusikan banyak hal. Segala topik kami obrolkan di ruanganku. Buatku Rudi adalah menjawab kebutuhanku akan seorang laki-laki baik. Buatnya aku adalah wanita dewasa yang dia butuhkan.
” Mbak ,” di tengah pembicaraan Rudi menunduk serius.
” Ya Rud?”
” Rudi… mau ngelamar Mbak,” ujarnya tanpa berani menetap wajahku.
” Kamu mau melamar sebagai wujud rasa bersalah??,” aku bertanya.
” Bukan Mbak! bukan karena rasa bersalah…tapi..,” Rudi menarik nafas ” tapi karena Rudi benar-benar cinta sama Mbak Tami,” ia menunduk lagi.
Aku menatap wajahnya dan tersenyum. Aku bisa melihat hatinya. Dia bersungguh-sungguh.
” Kamu yakin dengan lamaranmu??” aku menjelaskan panjang lebar kepadanya tentang jurang pemisah diantara kami. Mulai dari status sosial, jarak usia, tanggapan masyarakat, hingga penekanan tentang motif rasa bersalah.
” Rudi hanya cinta sama Mbak, ” jawabnya setelah selesai mendengar omonganku .
” Hanya cinta?? sesederhana itu??,” tanyaku.
” Iya Mbak soalnya Rudi hanya tau cinta,” ujarnya sambil menatap mataku untuk pertama kalinya.
Aku melihat api di matanya. Api itu membuatku tersenyum. Senyum oleh kesederhanaan cinta.
” Tokkk….toookk,” bunyi pintu diketuk.
” Masuk!,”
” Maaf Bu jumpa pers sudah siap!,” ajudanku masuk ke ruangan menghentikan percakapan kami.
” Baik Ibu keluar sekarang,” aku berdiri sambil menunggu ajudan menghilang ” Mbak mau jumpa pers dulu ya Rud” aku mengelus rambut Rudi. Mengelus rambutnya mendatangkan rasa sayangku kepadanya.
” Trus jawabannya gimana Mbak??,” Rudi bertanya penuh harap.
” Nanti Mbak jawabnya! sekarang kamu Ikut Mbak dulu jumpa pers !,” ajakku
Aku meminta tolong ajudan guna mengantarkan Rudi ke ruang jumpa pers. Sejenak aku masih terkesima dengan kesederhanaan cinta. Pada jaman teknologi seperti sekarang masih ada orang berpikir sesedehana Rudi.
Masih diselimuti ketakjuban cinta aku melangkah menuju ruanganan pers. Para wartawan telah menantiku dan langsung menghujaniku dengan pertanyaan berat. Mereka menyoalkan tentang upaya pemberantasan korupsi di daerah. Aku menjelaskan dengan tenang mengenai upaya pencegahan, penindakan sampai penjatuhan hukuman yang telah berjalan selama ini.
Pada akhir jumpa pers, para wartawan biasa melempar pertanyaan maupun joke joke ringan. Biasanya mereka menggodaku soal satusku yang masih single.
” Bu Tami, apa gak tertarik nyari pendamping disini? masih banyak lho Bu duda duda keren yang masih mencari jodoh,” goda mereka.
Aku menatap wartawan dengan ramah sambil tersenyum ” Nyari duda?? kenapa harus duda? barusan ada perjaka yang melamar Ibu lho,” jawabku dengan bangga.
” Hah…seriuss Bu?? siapa Bu?? orang mana dia?? tinggal dimana??,” para wartawan seketika antusias.
” Pegawai muda, orang biasa,” jawabku sambil melirik Rudi.
” Terus gimana Bu?? Ibu mau?? kok orang biasa sih Bu?? brondonk donk???,” wartawan terus memberondongku. Rudi yang pemalu mulai hendak beringsut kabur dari ruangan.
” Rudi sini!,” panggilku kepadanya. Wartawan sontak menoleh semua ke arahnya lalu mengerubunginya dengan kamera. membuatnya salah tingkah dan menunduk malu ” sini Mas! jangan malu!,” ajakku.
Mendengar ajakannku Rudi melangkah setengah berlari dengan wajah merah padam.
Lampu blitz wartawan mulai berkilatan di tengah kami. Mereka hendak memberondongkan pertanyaan kembali sebelum sinyal tanganku menghentikan mereka.
” Teman-teman wartawan, Ibu minta waktu sebentar guna mengetes kesungguhan Rudi,” aku mengibaskan tangan sambil menyentuh bahu Rudi ” Mas bisa kamu ulang apa yang tadi kamu haturkan di ruangan??”
Rudi kebingungan mendapat tantangan seperti ini. Keringat dingin telah membasahi wajahnya. Kakiknya juga terlihat bergoyang terus bagai terhantam gempa lokal.
” Ctaarr..ctaaaarrr,” kilatan lampu wartawan semakin membuatnya gugup.
” Rrrruuuddii……,” Rudi seperti kaku tak bisa mengeluarkan kata-kata ” … mauu mmelaaamarr Mbaakk Tamii…..”, ujarnya dengan grogi ” RUDI MAU MELAMAR MBAK TAMI,” dia berteriak.
.” Wahh gimana Bu jawabannya?? terimaa! terimaa!,” wartawan serempak bersahut sahutan.
Pernyataan cinta telah dibuat sekarang giliranku menjawab.
Aku mengibaskan tangan lagi agar para wartawan tenang.
Hening sejenak.
” Rudi!, ” aku mengangkat wajah Rudi yang terus menunduk agar menatapku
” Dengan berat hati Mbak minta maaf sama kamu” aku menunjukkan raut wajah menyesal. Rudi langsung lesu melihat tanda tanda dariku ” karena perbedaan kita terlalu besar jawaban Mbak adalah …, “
Hening.
” Mbak terima cintamu Rud,” jawabku sambil tersenyum
” BBRRRUUUGG” Rudi terjatuh pingsan mendengar jawabanku sedang para wartawan bersorak riuh.
TAMAT
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,