Karena produksi sperma terlalu banyak, aku harus sering coli

Author:

Aku terbangun setelah pergumulanku dengan Wendy usai. Kulihat dirinya terbaring membelakangiku dengan selimut menutupi tubuhnya. Sedikit aku membelai kepalanya untuk mengasihinya dan beranjak dari peraduanku. Malam masih berkecamuk liar kala itu. Mengambil segelas minuman, aku meneguknya berharap meredakan dahagaku. Aku terduduk di dekatnya dan menatap jauh ke jendela apartemen.

Waktu itu, aku tengah menjemput Wendy yang tengah minum di sebuah klab seputaran ibukota. Aku memergokinya tengah menenggak minuman yang aku sendiri tidak tahu berapa banyak yang telah diminumnya. Di meja bar, aku menempelnya.

“Ci Wen, sadar! Ci Wen…!”

“Koq lo kesini sih?”

Aku melihat mukanya merah akibat pengaruh minuman.

Video bokep indo cewek jilbab hijau sange pamer toket gede

Berikut ini video bokep indo cewek jilbab hijau montok sange pamer toket gede lanjut colmek.

“Aku dihubungin temen kalo Ci Wen disini. Sendirian pula.”

“Gapapa, koq… Gapapa…Gue masih pengen disini…”

Aku bertanya kepada kepada bartender berapa banyak dia menenggak minuman dan menunjukkan angka yang cukup banyak.

“Udah, Ci…Ci Wen udah tipsy ini…”

Perempuan itu hanya terdiam mencoba tersadar dengan bertumpu dagu di tangannya.

Video bokep indo cewek hijab colmek brutal cepet banget

Berikut ini video bokep indo cewek hijab hitam colmek brutal cepet banget. Mantab.

“Pulang yuk, Ci… Aku anterin ke rumah ya…”

Dia tidak merespons apapun. Akhirnya, aku berinisiatif membereskan bill nya dan membawanya pergi dari sana.

Di mobil, aku memberinya minuman untuk menghilangkan tipsy nya sembari berjalan pulang.

“Laki ngentot!!!!”

Aku terkejut mendengarnya.

Video bokep indo cewek jilbab hitam masturbasi colok memek

Video bokep indo cewek jilbab hitam menikmati saat masturbasi colok memek.

“Brengsek, gue udah setia malah maen sama cewek laen!”

“Tenang, Ci….kalem…”

“Utang gue bantu bayar! Lo masih begitu aja!”

Kurasa dia masih dalam pengaruh minuman dan ingin berkeluh kesah. Kemudian dia menutupi wajahnya dan menangis sesenggukan.

“Ci Wen, gapapa kan?”

Dia mengusap air matanya mencoba untuk tegar.

“Gue salah apa, Io. Gue udah berusaha jadi istri yang baik buat laki gue. Tapi nyatanya, malah gue yang disakitin.”

“Namanya juga kehidupan, Ci. Kita engga ada yang tahu.”

“Gue mau idup gue tenang dan lebih baik aja untuk sekarang.”

“Maaf ya, Ci. Aku enggak bisa ngasih saran atau gimananya. Yang jelas, sekarang Ci Wen bisa punya kesempatan untuk jadi diri yang lebih baik aja.”

Dia mengerti dan menyetujui apa yang aku katakan.

“Ci Wen istirahat aja. Nanti aku bangunin kalo sudah sampai.”

Wendy mengangguk pelan sambil mencoba untuk beristirahat.

“Kasihan, Ci Wen. Perempuan kayak gini masih aja disakitin.”

Malam ini, entah mengapa jalanan tiba – tiba macet. Padahal, tidak lama sebelumnya, jalanan terasa lancar. Aku mencari info lewat ponselku dan menemukan bahwa terjadi kecelakaan yang cukup parah. Aku sendiri baru saja pulang dari kantorku dan langsung menjemputnya ketika mendapat kabar tersebut. Aku menelepon temannya dan menanyai dimana dia sekarang tinggal. Sialnya, tidak ada yang mengetahui dimana dia tinggal saat ini. Aku berpikir membawanya untuk menginap di tempatku saja mengingat macet ini yang tentu saja menyita energiku dan ketidaktahuanku akan tempat tinggalnya.

Usai lepas dari kemacetan, aku mengarahkan mobilku kembali ke tempatku. Dengan dibantu beberapa orang, aku membawa tubuh Wendy yang terseok – seok masuk ke dalam apartemenku. Sengaja, aku menghubungi petugas housekeeping perempuan untuk membereskan Wendy dan menidurkannya di tempat tidur. Aku sendiri memilih menikmati tidur di sofa sambil menonton film hingga mengantuk.

Pagi hari yang sudah menjelang siang ini, Wendy masih pulas dalam tidurnya. Aku tidak ingin menganggunya. Segera, aku memesankan makanan via delivery untuk dimakannya nanti. Aku menikmati kopi hangat sambil mengecek pekerjaanku lewat laptop usai menyegarkan diri.

“Dimana ini?”

Wendy terbangun dan mendapati dirinya sudah berganti pakaian dengan memakai kemejaku. Aku tidak memiliki baju perempuan disini.

“Koq gue pake baju ini?”

“Maaf, Ci Wen. Kemaren Ci Wen tipsy dan aku enggak tahu tempat Ci Wen dimana. Jadinya, Ci Wen nginep di tempat aku.”

“Lo yang gantiin baju gue, Io?”

“Enggak. Minta tolong sama mbak housekeeping.”

“Oh, padahal digantiin juga enggak masalah.”

“Eh gimana, Ci?”

“Bercanda, Io.”

Dia beranjak dari tempat tidur dan menghampiriku duduk. Melihatnya dengan penampilan ini, darahku berdesir. Muncul pikiran jahatku yang segera saja kutahankan. Aku sendiri mengenal Wendy dari temannya. Kebetulan temannya adalah sahabatku. Jadi, secara tidak langsung dia juga mengenaliku dan sebaliknya. Aku memberinya coklat hangat untuknya.

“Ci, diminum ya Hot Choco nya. Baru bikin soalnya.”

Dia memegangi mug dengan kedua tangan dan meniupnya menyesapkan rasa di dalam mulutnya.

“Io, jangan manggil pake Ci ya. Gue engga tua tua amat.”

“Iya, Ci…eh, Wen maksudnya…”

“Thanks ya udah mau anterin gue pulang. Walaupun, gue akhirnya malah ke tempat lo ini.”

“Iya, soalnya aku enggak tahu tempatnya.”

“Oh iya, aku udah ngehubungin temen kamu mau dijemput atau gimana nanti kamu kabarin ya.”

“Iya, nanti gue kabarin ke mereka.”

Bel terdengar singkat. Aku mendekati pintu dan mengambil pesananku.

“Oh iya, ini ada makanan buat kamu. Moga aja seneng. Sorry enggak sempet masak.”

“Ih, ngerepotin banget sih guenya, Io.”

“Kalem. Temen aku ini. Sekalian, aku mau cabut dulu ke kerjaan ya.”

“Bentar, terus ini gimana?”

“Kuncinya aku tinggalin. Nanti taruh aja di resepsionis.”

“Gapapa nih?”

“Santai koq. Mau istirahat lagi juga gapapa.”

Akupun pergi meninggalkannya di tempatku. Dia menelepon temannya setelahnya.

“Eh, lo kemaren yang nyuruh dia jemput gue?”

“Iye,mabok mulu lo nya. Lo dimana sekarang?”

“Lagi di tempatnya sekarang.”

“Sumpah, demi ape lo?”

“Iya. Ini aja gue pake baju dia.”

“Lo ngentot sama dia? Gila, parah lo.”

“Kagak. Cabul amat gue.”

“Boong lo! Berapa ronde nih.”

“Dibilangin juga.”

“Oh iya, lo mau gue jemput apa gimana?”

“Gue balik sendiri aja kayaknya.”

“Take care, ya. Tenang gue kalo udah dijemput Io kemaren.”

“Okay, bye!”

 

 

 

Sibuk bekerja, aku menenggelamkan diri dalam rutinitas yang repetitif dan membosankan. Pesan singkat dari temanku mengucapkan terima kasih atas bantuannya. Aku membacanya singkat dan meneruskan pekerjaanku. Tiba tiba saja, aku teringat paras Wendy semalam. Tanpa sadar, aku mengaguminya dalam hati.

“Io, sadar diri….” Gumamku.

Beberapa hari berlalu menuju akhir pekan. Dimana temanku menghabiskan waktu untuk menikmati malam di ibukota, aku memilih untuk pulang ke tempatku. Dering telepon memecah perhatianku pada macetnya jalanan.

“Io, masih di kerjaan?”

“Jalan balik ini.”

“Kesinilah nongkrong di tempat biasa.”

“Agak males sih…”

“Udah, sini aja. Udah gue order ini. Buru kesini.”

Telepon singkat itu membuatku berganti tujuan ke sebuah open space cafe di pusat bisnis ibukota. Sedikit memutar arah. Namun, aku mengiyakan. Sesampainya disana, beberapa temanku sibuk mengobrol menungguku.

“Bos kita dateng nih.”

“Udah tahu maunya kalian apa. Udah pesen semua kan?”

“Tuh kan apa gue bilang, bos kita satu ini perhatian banget.” Temanku lainnya menimpali.

Kami saling mengobrol membicarakan peristiwa yang terjadi selama tidak bertemu dan hal lainnya hingga waktu yang larut.

“Eh pacar gue mau dateng mampir nih.”

“Yahh…bubar! Bubar!” Canda temanku lain.

Aku hanya tertawa melihat tingkah mereka.

“Tapi, dia bareng sama Wendy. Katanya mau ketemu sama Io sekalian.”

“Maksudnya Wendy yang lakinya itu?”

“Ya siapa lagi….”

Semua temanku memandangiku seakan bertanya.

“Oh, beberapa hari yang lalu, pacar mu itu minta tolong buat ngejemput Wendy di klub takutnya terjadi yang enggak enggak, gitu.”

“Tapi, kejadian yang enggak enggak itu kejadian enggak?”

“Ya enggaklah. Ada juga gila gilanya kalian.”

“Tapi dia tipsy kan?”

Tidak lama, pacar temannku datang bersama Wendy.

“Hai, Io…”

“Hai, Wendy….”

“Oiya, aku mau balikin baju nih. Udah aku laundry juga.”

“Iya, makasih ya, Wen.”

Teman-temanku pasti sudah berpikiran yang tidak-tidak.

“Duduk dulu, Wen. Order apa gitu.”

“Maunya sih. Cuman, abis ini aku ada urusan gitu. Ini aja sekalian mampir gitu.”

“Aku anterin enggak? Sebagai ucapan makasih aku.”

“Enggak perlu, koq. Next aja kalo ada kesempatan lagi.”

“Okay, Wen. Hati-hati ya…”

“Bye, Io…”

Mereka datang dan pergi dalam waktu yang singkat.

“Bentar, dia pake baju lo berarti lo udah…..”

“Dia nginep di tempat aku. Yakali, aku punya baju cewek.”

“Paham…paham…”

“Udah ah aku cabut duluan….ngantuk nih….”

Sebenarnya aku melakukan ini karena Wendy mengirimkan pesan singkat untuk menemuinya di luar.

“Maaf, lama akunya…”

“Gapapa, koq…”

Selanjutnya, aku menghabiskan waktu malam itu bersamanya.

“Io, boleh enggak gue nginep lagi di tempat lo?”

“Kenapa, Wen? Ada sesuatu?”

“Enggak boleh juga gapapa, koq.”

“Enggak begitu, Wen….”

“Walaupun baru deket deket ini kenal lo, Io. Gue ngerasa nyaman.”

“Perasaanmu aja itu, Wen.”

“Gue serius, Io. Enggak tahu kenapa, rasanya nyaman aja.”

“Ya, aku juga nyaman sama kamu…”

Tangannya menyentuh tanganku yang berada di tuas transmisi. Aku melihatnya sekilas. Rasa senangku ingin mencuat keluar dari badanku. Kami sama sama tersenyum setelahnya.

Aku mempersilahkannya masuk ke dalam tempatku. Dia meminta ijin untuk ke kamar mandi dan aku masuk setelah dia usai. Di kamar mandi, aku berpikir mengapa Wendy ingin bermalam disini.

“Mungkin dia ingin mencari suasana baru.” Pikirku.

Keluar dari kamar mandi, aku terkejut mendapati dirinya daalm balutan one piece lingerie warna nude. Kulit dan tatonya terekspos dengan penampilan naturalnya.

“Wen, itu baju tidur kamu ya.”

Dia mengangguk dan menarikku di dekatnya. Tercium aroma badannya yang membuatku terlupa. Dinginnya ruangan membuatku memperhatikan puting dadanya agak menyembul.

“Io, makasih ya lo engga kurang ajar ke gue waktu gue tipsy. sebagai ucapan makasih gue, tubuh gue bebas lo apain aja.”

Aku terkesiap mendengarnya. Ucapan itu meluncur dari mulutnya tanpa terpatah sekalipun.

“Wen, bukan ini yang aku mau dari kamu. Aku cuma pengen kamu jadi pribadi yang lebih baik aja.”

Aku menyelimuti tubuhnya yang diterpa dingin.

“Mungkin saatnya belum tepat untuk sekarang, Wen.”

Aku mencium keningnya lembut dan mengusap rambutnya. Dia mencoba memahami maksudku. Dia menggamit tanganku menarikku dalam peluknya.

Dipegangnya kedua pipiku seraya menciumku dengan mesra. Bibir kami beradu untuk pertama kalinya. French kiss yang tidak terlupakan dalam hidupku.

“Thanks, Io.”

“You too, Wen.”

Sepanjang malam, kami hanya cuddle sambil menonton film. Tidak ada aktivitas yang mengarah ke seksual. Mulai saat itu juga, kami menjalin hubungan tanpa status yang hanya kami berdua yang mengetahui. Kami bertukar kabar dan berhubungan selayaknya sepasang kekasih. Berkirim foto aktivitas dan selfie pun dilakukan. Tidak jarang, Wendy sengaja mengirim foto yang sensual. Tentu saja, itu membuatku birahi.

 

 

 

Aku mengunjungi dokter langgananku. Dokterku menyambutku dengan ekspresi seperti biasa dan segera memeriksaku. Sengaja aku mengunjunginya di luar jam prakteknya.

“Kelainan yang terjadi sama zakarmu itu apakah mempengaruhi kehidupan sehari-hari?”

“Enggak terlalu, Dok. Misal kalo penuh aja rasanya keras banget, saya masturbasi dan ejakulasi. Setelah itu, normal seperti biasa.”

“Jumlah sperma nya berada di atas ambang. Namun, masih infertile. Nanti terapi seperti biasa ya.”

“Baik, Dok.”

Ada hal yang aku sembunyikan dari Wendy. Aku mengalami kelainan pada bagian zakarku yang memiliki ukuran agak berbeda pada umumnya ditambah dengan produksi spermaku yang over sehingga aku harus rutin mengeluarkannya dengan bermasturbasi. Dokter sendiri masih mendalami penyakit yang kualami. Selama hal itu tidak menggangguku, aku akan melakukan pencegahan yang dapat aku lakukan. Mungkin aku akan memberitahukannya pada waktunya.

Di lain kesempatan, Wendy bersama temannya tengah asyik menikmati kesenangan bersama.

“Eh, lo sama Io jadian ya?”

Wendy memberi isyarat telunjuk di bibir.

“Jangan kenceng kenceng. Lo tahu darimana?”

“Io itu temen gue, Wen. Semenjak lo kenalan sama Io hidup lo agak berwarna gitu.”

“Ya begitulah. Gue nyaman sama Io.”

Wendy terbersit pertanyaan tentangku.

“Eh, Io itu orangnya kayak gimana sih?”

“Io yang gue kenal sih orangnya pekerja banget. Makanya, dia sendiri sampe udah punya tempat yang settle disini dan dia bukan orang aneh aneh. Orangnya selalu sober. Kalo perkara vaping atau minum sih, masih dimaklumin.”

“Kayaknya too good to be true tuh si Io.”

“Gue sih pernah denger gosip kalo dia pernah nikah dan enggak berapa lama dia cere.”

“Hah, dia pernah nikah?”

Temannya mengangguk.

“Kabarnya sih begitu. Cewek nya yang ninggalin.”

“Berarti punya anak dong Io…”

“Enggak, Wen. Dia enggak punya anak. Maaf nih ya, Wen. Bukannya jadi party poopers ya. Cuman Io itu katanya mandul. Jadi, karena alasan itu dia agak susah ngejalin hubungan dan cere sama mantan bininya. Gue aja kaget denger lo jadian sama Io.”

Wendy terkejut mendengar kabar tersebut. Aku sendiri tidak pernah membicarakan hal tersebut kepadanya.

“Tapi, Wen. Io itu tulus dan baik banget. Gue minta lo jangan kecewain dia ya. Kalo lo mau tinggalin, bilang terus terang aja sama dia. Sorry ya gue spill soal Io ini.”

“Gue belum kepikiran buat ninggalin dia. Dia bikin hidup gue lebih baik setelah gue cere.”

“Syukurlah kalo dia ngasih impact positif ke lo nya.”

Wendy pun mulai terpikir tentang obrolan tadi. Mengapa aku tidak memberitahukan kepada dirinya. Selama ini, dia lebih sibuk membuat dirinya senang tanpa memperhatikan kondisiku.

 

 

 

Terbuai dalam pandanganku hingga aku tidak menyadari Wendy sudah berada di dekatku. Dipeluknya dari belakang, kubalas dengan ciuman di bibirnya.

“Are you okay, Io?”

“I’m okay…”

Dia bersimpuh di depanku membuka kedua kaki menggenggam penisku dan mulai menciumi dan menghirupnya perlahan.

“Ssssshhhhhh……aaahhhhhhhh……..Wennn……”

Jilatan lidahnya menggerayangiku di tengah malam ini. Dibuatnya aku pasrah olehnya.

 

 

 

Wendy baru saja selesai melakukan aktivitasnya.

“Ini searah sama tempat Io, mampir aja kali.”

Sementara itu, aku berada di rumah menelanjangi diriku dari pinggang ke bawah.

“Ampun, penuh banget rasanya.”

Aku mempersiapkan lotion dan tisu di dekatku. Tidak lupa aku memasang TWS agar lebih berkonsentrasi. Menghela nafas panjang, aku memulai masturbasiku. Duduk di sofa membelakangi pintu sambil mendengarkan JOI (Jerk Off Instructions) dan menutup mata.

Wendy tiba di tempatku dan masuk menggunakan kartu akses yang telah kuberikan sebelumnya. Aku tidak mendengarnya datang. Wendy yang penasaran melihatku tengah duduk di sofa dan menghampiriku setelahnya.

“Io…”

Dia menepuk bahuku ketika aku sudah mencapai klimaks.

“Ahhh…Wen….”

Kami sama – sama terkejut. Aku berbalik badan memegangi penisku saat klimaks dan tanpa sengaja mengarahkannya ke Wendy. Namun, terlambat. Aku mengalami ejakulasi menyemburkan spermaku ke arahnya.

“Sssppuurrtttt……….cccccrrrrrooooooooosshhhhh……..ccccccrrrrraaaattttssss…….”

“Ioooo……”

Dia terjatuh duduk usai spermaku memandikan tubuhnya. Dari rambut hingga tubuhnya tidak luput terkena sperma yang tersembur.

“Wen, maaf…. Aku enggak tahu kalo kamu dateng…”

“Diem dulu…!”

Singkatnya, Wendy sudah membersihkan diri. Aku duduk terpaku bersalah. Dia duduk diseberangku dengan bath robe dan handuk di kepalanya.

“W… W… Wen…. Aku minta maaf enggak sengaja…”

“Ada yang mau lo ceritain ke gue soal ini?”

“Kayaknya kamu harus tahu soal ini. Aku punya kelainan sama jumlah spermaku dan alat vitalku. Zakarku memiliki ukuran yang sedikit lebih besar dari kebanyakan pria dan jumlah sperma yang overproduksi. Jadi, mau enggak mau, aku harus rutin ngeluarinnya.”

Wendy melihat ke arahku.

“Dan, aku rasa kamu juga sudah tahu dari temen-temen yang lainnya. Spermaku tidak dalam kondisi yang fertile. Bisa dikatakan kalau aku mandul.”

Dia bangkit dan menuju kepadaku kemudian menamparku keras.

“Kenapa lo engga cerita duluan soal ini ke gue, Io?”

Matanya mulai menitikkan air mata. Refleks, dia memelukku.

“Lo udah gue anggep sebagai someone special di hidup gue.”

“Aku enggak mau bikin kamu pikiran, Wen.”

“Telat. Aku udah kepikiran sebelumnya.”

Aku membiarkannya menangis di pelukku. Dia menyeka air matanya berusaha menguatkan diri.

“Lain kali, cerita ya, Io…. Kalo lo cerita, seenggaknya gue bisa bantu.”

“Iya, Wen. I’ll try…”

Lantas, kami saling berbaring berpelukan di sofa hingga malam menjelang. Malamnya, kami menghabiskan waktu untuk jalan dan makan malam.

Wendy yang tengah beristirahat di tempatnya teringat peristiwa yang cukup memalukan baginya. Tidak pernah dalam hidupnya dia akan dihujani oleh sperma yang cukup banyak. Hidungnya masih mencium aroma sperma yang tergambar jelas diingatannya. Tanpa dia sadari, jemarinya sudah masuk dari sela celana dalamnya. Ditekan dan dipijatnya kemaluannya hingga kenikmatan mulai menyelimutinya.

“Oooohhhh……fffffuuuuuccckkkk……ooooohhhhhhh…….mmmmmhhhhh…….”

Dia menggigit bibirnya sendiri sembari memainkan buah dadanya.

“Uuuuuuhhhhhh…..yyyyyeeeessss……..oooooooohhhbbbb……”

“Ioooo……Iooooo…..fffuuuuccckkkk….mmeeeeee…….”

Tidak lama, permainan jarinya semakin cepat hingga tubuhnya mengejang diiringi celana dalamnya yang basah.

“Shittt……”

Dia terlelah dan berusaha mengumpulkan energi yang tersisa. Semenjak berhubungan denganku, aktivitas kami sebatas hanya kissing dan cuddling. Tidak lebih. Akunya sungkan kepadanya jika meminta lebih. Begitupun sebaliknya.

 

 

 

Wendy mengulum penisku tidak terkecuali. Kepalanya naik turun seolah ingin menelannya bulat. Aku mengerang memekikkan namanya.

“Aaaaahkkkkk…….aaakkkkhhhh……Wen……aaaaaasskkkkhhhh……Wen…..”

“Sssssluuuuuurrrpppppoo………ssssllllloooorrrrppppphhhhh……..cccccluuuuuurrrppppphhhhh…..cllllllrooooorpppphhh….”

Kakiku menahan kejang dari hisapannya. Dia sudah mengetahui titik lemahku dan dikejarnya. Sesekali, dia menatapku merayuku untuk luluh. Kemudian, dia berhenti dan duduk dipangkuanku dan mengarahkan penisku masuk ke vaginanya.

“Wen….kamu enggak capek?”

Dia menggeleng dan menciumiku mesra.

“I wanna fuck till i can’t walk….”

 

 

 

Beberapa hari kemudian, aku pergi ke dokter langgananku bersamanya untuk memberitahukan kondisiku dari sisi medis. Aku berkonsultasi dan menjalani terapi ditemani olehnya. Akhirnya, kami makan berdua setelahnya.

“Baru tahu gue ada kasus kayak gitu.”

“Aku juga kaget awalnya. Tapi, lama kelamaan ya biasa aja.”

“Berarti lo harus sering begitu ya?”

Aku menggangguk.

“Dengkul lo kopong enggak? Sini gue ketok dulu.”

“Apasih, Wen…”

“Kan begitu mulu…”

Dia memeragakan dengan tangannya yang kusambut dengan tawa.

“Tapi, serius nih, Io. Gue boleh nanya enggak?”

“Soal apa?”

“Lo kan pernah nikah terus cere. Itu kenapa sih?”

“Kalo alasannya ya karena enggak cinta aja. Mantan bini gue enggak gue apa-apain juga.”

“Sorry, enggak lo pake gitu?”

“Enggak. Aku enggak berhubungan badan sama dia.”

“Tumben kamu nanya begitu sama aku?”

“Ya pengen tahu aja sih. Kita udah cukup mayan punya hubungan gitu.”

Tiba-tiba, aku merasakan nyeri pada penisku. Wendy menyadari itu.

“Wen, aku ke mobil aja ya. Punya gue nyeri ini. Kayaknya perlu aku keluarin deh.”

“Yaudah, gue ikut aja.”

“Gimana, Wen?”

“Iya, gue ikut aja. Bantuin lo nya.”

Segera aku menuju mobil dan mencari tempat yang agak terpencil.

“Maaf ya, aku harus masturbasi sekarang. Rasanya sudah ingin pecah. Kalo kamu enggak nyaman, kamu boleh keluar, koq.”

Dia menggeleng. tanpa canggung aku mengeluarkan penisku dari balik celana dan menghirup nafas panjang, aku mulai bermasturbasi. Aku mendesis pelan. Dia melihatku seolah tidak percaya. Namun, hal ini terjadi di depan matanya. Kemudian, dia berbisik lirih di telingaku.

“Biarin gue yang keluarin ya, Io.”

Tanganku ditepis dan tangannya perlahan meremas penisku. Dia mulai mengurutnya keatas dan kebawah.

“Gimana, Io? Enak kan?”

“Eh enak,…”

Dia melihat ujung penisku yang sudah basah oleh precum. Diratakannya cairan precum itu di ujungnya.

“Nnnngggghhhhhhh……aaaaaakkkkhhhh…..”

Ditiupnya telingaku dan diciuminya manja. Aku semakin tidak bisa menahannya lagi.

“Wen, i’m gonna cum….”

“Good boy, Io….”

Kocokan tangannya semakin intens membuatku tidak tertahankan lagi.

“Akuuuu…..keluuuarr…….”

Aku mencapai klimaks dengan keluarnya spermaku.

“Ssssppppllluuurtttttt………ooohhhookkkk…..uuhhuukkk…..ssssslooooorrrppohhhhhh…..”

Yang aku tidak sadari bahwa, Wendy langsung mengulum penisku membiarkan spermaku terbuang di dalam mulutnya. Dia menengadah dan terbatuk batuk hingga sebagian dari spermaku dimuntahkannya. Lidahnya juga menjulur keluar.

“Banyak banget punya kamu.”

Dia membersihkan diri dengan tisu.

“Baru 4 hari lalu, aku masturbasi juga.”

“Gila, mulutku langsung penuh. Kayaknya ada yang ketelen.”

Melihatnya tidak nyaman usai menelan spermaku, aku merasa bersalah.

“Tadi spermanya ditaruh di wadah aja harusnya, Wen. Kasihan kamunya begitu.”

“Enggak, koq. Ini pengennya gue bisa bantuin lo.”

Aku lemas untuk sementara. Kulihat, Wendy masih sibuk membereskan dirinya. Tidak lupa, dia membereskan penisku yang lunglai usai masturbasi.

“Biarin aja, Wen…”

“Engga apa apa, Io.”

“Enggak kebayang kalo keluar di dalem. Banjir banget bakalan nanti.” Gumamnya.

 

 

 

Wendy memberitahuku akan ada event yang akan dihadirinya selama beberapa hari dan kemungkinan dia akan susah dihubungi. Aku mengiyakannya dan meminta untuk menghubunginya seperti biasa jika sudah selesai. Sibuk bekerja seperti biasa, aku tidak mendapatkan kabar dari Wendy beberapa hari terakhir yang aku maklumi. Mungkin saja dia sedang sibuk. Ditambah, pekerjaanku sedang lumayan banyak dan menyita waktu hingga aku sering pulang larut malam.

“Halo….”

“Io, lo dimana?”

“Masih di kerjaan nih.”

“Lo tahu Wendy kemana?”

“Ada event sih katanya. Udah beberapa hari enggak ngabarin juga.”

“Oh oke kalo gitu.”

Baru saja aku bersiap untuk pulang. Atasanku meminta untuk menemani pergi ke sebuah klab malam untuk refreshing. Aku tidak dapat menolaknya dan mengikutinya. Ternyata, atasanku bertemu dengan beberapa orang yang tidak aku kenal dan memilih untuk menghabiskan waktu di bar. Suasana klab malam ini cukup ramai dengan dentum musik yang memekakkan telinga. Dari kerumunan, aku melihat sosok yang familiar.

“Wendy?” Pikirku.

Aku mencoba mendekatinya. Namun, aku mengurungkannya karena dia tengah bersama mantan suaminya. Aku berdiri di tengah kerumunan memerhatikan mereka dengan begitu mesra dan PDA yang nyata. Tingkahnya terlihat tipsy dan menikmati.

“Aku harus sadar diri. Aku bukan siapa siapa bagi Wendy.” Kataku sendiri.

Aku berbalik dan menuju bar. Kebetulan, atasanku sudah selesai dan ingin pulang segera. Aku berjalan memecah kerumunan dan Wendy berada dalam sepandanganku. Tentu saja dia melihatku antara terkejut dan tipsy. Jariku tersilang lurus memberi isyarat untuk diam melemparkan senyum kecil setelahnya. Aku mencoba menguatkan diri dan menerima kenyataan.

“Io, makasih ya sudah mau nemenin saya ketemu klien.”

“Tidak apa-apa, Pak.”

“Ohiya, kalau kamu mau, kamu ikut saya keluar kota selama beberapa hari. Saya ada tender yang harus diselesaikan. Kita berangkat besok.”

“Baik, Pak. Saya ikut bapak.”

“Tumben kamu enggak nolak.”

“Enggak enak saya nolak terus, Pak.”

Aku mengambil kesempatan ini untuk menjauh dari Wendy untuk sementara waktu. Aku sengaja tidak memberitahukan kepergianku dan mengganti akses tempatku hingga aku kembali. Setidaknya aku bisa melupakan kesedihanku dengan pekerjaan ini. Pesan yang masuk di ponselku tertumpuk tanpa aku buka. Panggilan pun kuabaikan kecuali berhubungan dengan pekerjaan. Urusanku selesai dan aku mulai membaca pesan pesan yang tentu saja kebanyakan isinya dari Wendy yang bertanya tentangku dan penjelasan soal klab malam beberapa waktu lalu.

“Io, lo dimana sih! Susah banget ngehubungin lo nya.”

“Lagi ada kerjaan di luar kota akunya.”

“Minimal ngabarin kek. Bikin panik aja.”

“Iya… Maaf…”

“Wendy nanyain lo terus.”

“Sedang malas bahas dia.”

“Wendy udah cerita ke gue soal dia ketemu lo di klab malam.”

“Enggak usah dibahas. Masih capek kerjaan aku.”

“Iya.. sorry kalo waktunya enggak tepat. Cuman, gue minta tolong seenggaknya kasih kabar ke dia. Pusing gue juga dirongrong terus.”

“Iya, nanti dikabarin.”

“Buru kabarin!”

“Iya…”

Aku sampai di tempatku. Seorang petugas di tempatku memberitahu bahwa ada seseorang perempuan yang mencariku dan memaksa tidak akan pergi sebelum bertemu denganku. Aku bilang akan segera menanganinya. Saat berjalan menuju kesana, aku melihat seorang perempuan duduk meringkuk dengan kepala menumpu pada tangannya dan kedua kakinya jadi tumpuan tangannya. Ada beberapa bungkus bekas makanan dan minuman terletak disana.

“Wen…Wendy…”

Dia bangun dengan rambut acak dan mata sembab. Dia menatapku lemah.

“Kamu udah berapa lama disini?”

Dia bangun dan memelukku.

“Maafin gue, Io….”

Aku membantunya bangkit dan mempersilahkannya masuk memberikannya kesempatan untuk menyegarkan diri. Kami duduk berdua setelahnya.

“Io…..soal kemaren…”

“Enggak perlu dijelasin juga koq, Wen. Aku enggak ada hak untuk ngelarang kamu juga.”

“Maafin gue, Io….”

“Enggak ada yang salah, koq.”

Aku berdiri meninggalkannya dan beralih ke tempat tidur.

“Maaf ya, aku baru dateng dari luar kota. Aku mau istirahat dulu. Kamu bisa istirahat dulu disini atau pulang enggak apa apa.”

“Tapi, Io….Gue…”

Aku mengabaikannya merebahkan diri di atas tempat tidur dan langsung tertidur. Wendy masih disana memandangiku berpikir bagaimana mengatasi situasi ini.

Samar-samar, aku membuka mata. Wendy disana menghalangi pandanganku. Dia membelakangiku memperlihat punggungnya bertato melirikku dari samping.

“Belum pulang, Wen…”

“Aku masih ngerasa bersalah…”

“Enggak, Wen. Harusnya aku yang sadar diri.”

Dia membalik badannya menutupi dadanya dengan satu tangan. Dia sigap naik ke atas tempat tidur mencoba menindihku dari atas. Aku membuang muka menghindari tatapan matanya.

“Liat gue, Io…. Gue akan lakuin apapun biar lo enggak marah lagi ke gue.”

“Iya, Wen…. Aku udah enggak marah lagi, koq.”

Dia memalingkan wajahku dan memeluknya erat diantara dadanya.

“Uuummmpppphhhhh…..hhhhhmmmmmmmppphhhh……”

Aku berusaha keluar dari himpitan dadanya. Bukannya keluar, aku semakin tenggelam. Wendy tidak sungkan menyodorkan payudaranya secara bergantian di mulutku. Entah bagaimana, aku menyusu layaknya anak bayi. Setelah dibuatnya jinak, dia melepaskannya. Aku terhipnotis oleh perbuatannya. Langsung, dia melucuti pakaianku dan duduk diatas penisku. Celana dalamnya bergesekan langsung dengan penisku.

“Uuuugggghhhjhhh……….Wen…..uuuuugggghjjjh…..”

Aku merasakan belahan vaginanya membasahi celana dalamnya.

“Sial, aku sudah tidak tahan lagi….” Pekikku.

Dia menatapku sambil memijat penisku dengan tangannya.

“Gue punya kejutan buat lo, Io…”

Penisku diapit oleh payudaranya. Dengan terampil, dia memijatnya naik turun bergantian sambil meludahinya. Sensasi empuk yang merangsang ini menyiksaku.

“Wen….enakk bangettt…..”

“Hihihi…..masih mau lanjut??”

Berulang kali aku melihatnya dan semakin tidak tahan aku dibuatnya. Penisku juga semakin tidak terkendali. Tubuhku mengejang kuat. Dia menyadari bahwa aku akan mencapai klimaks.

“Io udah mau keluar?” Godanya.

Aku masih berusaha menahannya. Dia memberikan perlakuan yang semakin ganas. Tidak luput dia mengulum penisku sambil dipijatnya menghisap spermaku yang bisa saja keluar.

“Sssslllllluuuuurrrrppppphhhhhhhh…..sssssslllllllooooorrrpppphhhhhh……..”

Aku sudah tidak tahan lagi.

“Aaaakkkhhhh……..keluarrr…”

“Cccccrrrroooottttssss……cccrrrrraaaattttsss……sssppppuuuulllrrrttttttssss……..”

Spermaku mengenai dada dan muka Wendy. Dari mulutnya berleleran spermaku juga. Aku melihatnya dengan kondisi yang lelah. Dia menghisapnya kembali memastikan spermaku sudah keluar semua dan mengelapnya dengan rambutnya yang sudah acak.

“Gue gapapa diginiin biar lo bisa maafin gue, Io. Gue pantes jadi tempat lo buang pejuh.”

Aku merasa kali ini tindakanku berlebihan. Tidak mau ambil pusing, aku memberinya treatment khusus dari jalan sampai perawatan. Dalam pikiranku, aku melihat betapa rapuhnya dia usai bercinta denganku dan kuatnya dia sebagai public figure. Seseorang yang dipuja-puja oleh seseorang berakhir lemas tidak teratur menghamba maafku.

 

 

 

Batal aku melakukannya. Dia sedikit kesal padaku.

“Kenapa, Io? Something wrong?”

Dia membelai kepalaku.

“Nope, Baby. Aku pengen kamu nungging sambil pegangan di jendela.”

Dia meletakkan kedua tangannya di kaca jendela membiarkan payudaranya tergantung dan menonjolkan pantatnya.

“Aku mau masukkin dari belakang.”

Wendy sedikit bingung dan penasaran.

“Lube it first, baby.”

Aku melumasi lubang pantatnya dan mencoba mendorong penisku masuk.

“Be gentle, Io…. Ini first time gue..”

Aku tidak memaksanya masuk. Sesekali, aku melihat reaksi Wendy yang lelah dan kesakitan.

“Okay, masukkin lagi, Io….”

“It’s okay if it hurts…”

“I wanna achieve this…”

Setelah beberapa kali terhenti dan mendorong dengan pelan. Penisku bisa masuk dengan sempurna. Dia nampak kelelahan dengan keringat yang bercucuran. Aku merasakan bagaimana pantat itu menjepit erat penisku.

“Do me, Io….”

Aku memegangi bahunya dari belakang bersiap menghujaminya.

 

 

 

Suasana seperti biasanya. Aku baru saja menjemput Wendy untuk menghabiskan waktu bersama.

“Io, gue berpikir bahwa ini keputusan yang harus gue ambil.”

“Soal apa, Wen?”

“Gue akan pindah ke tempat lo. Gue mau seriusin hubungan ini.”

“Udah kamu pikirin hal ini?”

“No matter what. It’s always you, Io.”

“Well, it’s your decisions.”

Aku tidak menyangka bahwa Wendy akan pindah ke tempatku dan mulai hidup bersama. Semoga saja ini adalah pertanda yang baik.

“Io…..Io…..”

“Ah, Iya, Wen….”

“Lo mikirin apa? Lo enggak suka ya gue pindah ke tempat lo.”

“Aku yang seneng malahan, Wen. Tapi, nanti pindahannya usai aku pergi dari luar kota dulu ya.”

“Loh mau pergi lagi, Io?”

“Ya, aku mau pergi.”

“Sebelum pergi, gue mau spend a night with you boleh?”

Aku mengangguk pelan.

“Gue yang akan nyiapin tempatnya. Kapan perginya, Io?”

“Next week, kalo enggak salah.”

“Okay, Io…”

Waktu berlalu dengan cepat. Tibalah waktu dimana aku dan dia akan menghabiskan waktu bersama. Aku merasa bahwa ini akan menjadi hal yang paling spesial. Wendy sudah siap menyambutku di sebuah tempat yang dia siapkan. Aku mendatanginya dan disambut dengan Wendy yang memakai kostum pelayan wanita.

 

 

 

“Welcome, Io…. This is my special sanctuary for us..”

Melihatnya secara langsung dengan berkostum membuatku bergairah. Dia menuntunku masuk dan duduk. Dia menyiapkan minuman yang segera kuteguk. It’s an alcoholic things.

“How’s the taste?”

“It’s good. I love this.”

“And then how about this?”

Dia duduk di pangkuanku dan menurunkan pakaiannya. Sepasang payudara itu tersiap untuk diberikan kepadaku. Tanpa ragu, aku memegangnya dan meremasnya pelan.

“Ooohhhhh…..ssshhhhhhhh…….”

Putingnya mulai mengeras dan cepat saja aku menghisapnya lembut.

“Good sucking, Io….”

Tidak puas dengan satu bagian, aku melakukan hal sama disisi lainnya.

“Your bites is satisfying….”

“Aaaaakkkkhhhhh………mmmmmmmhhhhhhhh…….”

Puas menyusu padanya, dia menuntunku ke kamar mandi. Kami saling melepas pakaian kami dan mandi bersama dalam satu shower. Lambat, kami berciuman dan berpelukan manja.

“Cccuuuuppppphhhhhh……cccuuuupppphhhhh…….”

Guyuran air tidak mengganggu kami yang sudah terbuai dalam nafsu. Kami berpindah ke tempat tidur dan aku membaringkannya membuka kedua kakinya memperlihatkan celah vaginanya yang berbulu halus dan tipis.

“Gue malu, Io…”

Aku mengendus celah tersebut dan menciuminya penuh sukacita.

“Aaaaaarrrrrgggghhhhhh…….sssssssshhhhhhhh……mmmmmmmmhhhhhh…..”

Lidahku menjelajahi setiap bagiannya. Klitorisnya menjajal lidahku dan kusesap membuatnya tergelinjang.

“Sooo gooooood, Io……”

Aku menusukkan lidahku masuk ke melewati labia dan menggetarnya. Tubuhnya bergetar kuat.

“Aaahhh….ssshitttt…..I’m gonna squirts…..”

Semakin kubenamkan wajahku ke dalamnya.

“Aaahhhhh……ahhhhhh

…..ssshhhhhhiiiitttt………fffffuuuucccckkkkk……”

Mukaku berlumur oleh cairan squirt-nya. Aku menyentuh vaginanya dengan jemari.

“Udah basah kamunya di sini.”

Dia mengangguk lemas memandangi penisku yang sudah mengeras.

“Io, put in inside, please….”

Dalam posisi missionary, kami saling bertukar pandangan. Ini pertama kalinya aku memasukkan penisku di Vaginanya.

“Pelan pelan, Io…”

“Tahan ya, Wen…”

Satu hentakan kecil mengakhiri kesakitannya. Masih berdiam diri mengumpulkan tenaga. Aku menatapnya dan ia mengangguk seolah mengerti. Pinggangku mulai bergerak dan Wendy melingkarkan tangannya di leherku.

“Ccccccoooooopppppjhhhhhh……….cccccllllloooooppppppphhhhh………ccccccccoooooooohhhpppplp…….”

“Uuuuuggggghhhhhhh…….hhhhhmmmmmmm……mmmmmhhhhhhhh……..aaaasshhhhhh…….oooooooogghhhhhhj…….”

“Sshiiiittt….. Enakkk bangettt Wen…..”

“Fasterrr, Io……Harder……”

Aku menciuminya dan memainkan payudaranya meremas memilin putingnya keras. Penisku melesak semakin cepat dan kasar. Aku membalik posisi dan kini dia berada di atasku. Dia menggenjotku dari atas memperlihatkan keahliannya.

“Aaahhhhh….so tight, Wen….”

“Ccccllllllaapppphhhh………ccccccclllluuuppppphhhbh……..ccccccppppyuuurrrrttttt……”

“Your dick so amazing…..aaaarrrggghhhbb…….”

Dia naik turun dengan bebas. Bahkan, tanpa memegangi tubuhku sebagai sandaran layaknya seorang penari. Rambutnya tergerai bebas dan tangannya aktif menstimulasi dirinya sendiri.

“Oooooogghhhhbbb….ffffuuuuuckkkkk meee…..”

Klimaksku akan segera tercapai. Refleks aku memeluknya mendaratkan kepalaku di dadanya memeluknya.

“I’m gonna cum, Wen…”

“Me too, Io….”

Aku kembali dalam posisi missionary dan menggerakkan pinggangku.

Tubuhnya bergerak naik turun seiring hentakanku.

“Aaakkkhhh…..aaaskkkhhhh……aaakkkkhhhh…..I’m cumming…..”

“Me too, Io….”

Wendy mengangguk dan mengikat pinggangku dengan kakinya.

“Sssssppppuuuurrrrrtttttt……..ccccccrrrrooootttsss……..cccccccrrrrrrrssshhhhhhhh…….”

“So full, Io….”

Aku klimaks bersama dengannya. Spermaku berleleran keluar dari vaginanya. Dirinya menghela nafas berat.

“Penuh banget, Io sampe banjir gini…”

Aku mencabutnya dan spermaku masih menggenang di sekitarnya. Kami sama sama lelah dan saling berpelukan dan berpagutan.

“Bahagia banget Io malem ini gue…”

“Aku juga, Wen….”

“Jangan tinggalin gue ya, Io…”

Kami saling menyatu dalam tempat tidur hingga pulas.

 

 

 

“Shitt…pantat kamu sempit banget…”

“Ooohhhh fuckk….”

Aku merasakan nikmat lain saat melakukannya. Wendy pun semakin brutal dan terus menunjukkannya.

“Grab my tits, baby…”

Tanganku berpindah ke payudaranya. Dia meraung keenakan.

“Aaaaaaggghhhh……fuck me….more…….”

Aku mendekatkan tubuhnya padaku dan menciumi lehernya. Tidak lupa, aku menjamah setiap bagian badannya.

“So tingling, babe….”

“Finish me soon, Io….”

Aku menghujamnya semakin dalam dan sering. Tidak butuh waktu lama, aku akan mencapai klimaks.

“Feel my cum, Wen…”

“Shoot it inside….”

“Ccccrrrruutttssss……cccxrrrruuuuussshhhhh…..sssspppppppllluuuuuiirrrtttt…….”

Aku menembakkan spermaku di dalam pantatnya dan mengurasnya hingga tidak bersisa. Aku membopong tubuh Wendy yang lemas.

“So much cum, Io…”

Aku membiarkan penisku mengecil dan mencabutnya. Aku memberinya minuman untuk menuntaskan dahaganya.

“I’m gonna be your filthiest whore when your back, Io…”

Kami kembali ke tempat tidur dan beristirahat hingga pagi tiba. Aku terbangun dengan Wendy yang masih terlelap tidur.

“Pagi, Wendy…”

Aku mengecup kepalanya.

“Hmmmm….”

Aku bersiap untuk berangkat pagi ini.

“Wen, aku berangkat dulu ya.”

“Gue belum nyiapin makanan, Io.”

“It’s okay. Kamu istirahat aja, ya.”

Dia bangun dan memegang sabukku. Dia menurunkan resletingku.

“It’s okay, Wen. You don’t have to…”

“No. I have to….”

Dengan kondisi yang seadanya, Dia mulai mengulum penisku yang belum ereksi merangsangnya agar tegang.

“Ssssssllluuuuurrppppp……ssssllluuuurtttppppppp…..ssssslllllooooooorrrpppphhhh….”

Tetap saja, dia berhasil melakukannya dalam waktu singkat. Dia menyedotku dengan kuat.

“Oooorrggghhhhh…..Wendy…..”

Dia mengocoknya bersamaan dengan kulumannya.

Sssssuuuurrpppp…..buuuurrrrpppll………”

“Sssshhhhhhhiiittt……aaaaakakkkkhhhhhh…….”

Karena terlalu bersemangat, aku mengalami klimaks dengan cepat hingga spermaku berantakan di wajahnya.

“Maafin aku, Wen….”

Dia mengangguk sambil membersihkan wajahnya.

“Io, cepet balik ya…”

“Pasti, sayangku….”

Kalimat terakhir menyenangkan dirinya.

 

 

 

Wendy bersiap mengepak barangnya dan memesan taksi online.

“Selamat siang, Saya Grha.”

“Pak, bisa minta bantuannya untuk angkat koper.”

“Baik, saya bantu angkat.”

Dalam perjalanan ke tempatku, dia begitu senang. Aku memberitahunya bahwa hari ini adalah hari kepulanganku. Dia sudah tidak sabar lagi.

“Breaking News, sebuah pesawat terbang mengalami kecelakaan setelah terbang dari…..”

Wendy terperanjat mendengar kabar tersebut.

“Pak, bisa gedein volumenya?”

Dia menaikkan volumenya seolah tidak percaya. Tiba-tiba, temannya menelepon.

“Wen…Io kecelakaan di pesawat. Gue baru dapet beritanya ini.”

“Enggak mungkin, enggak mungkin…! Io udah janji mau balik hari ini…”

“Gue mau ke bandara abis ini…lo mau gimana, Wen?”

“Gue ke bandara juga,…”

“Kita ketemu disana…”

Selesai menerima telepon, Wendy mengubah rute menuju bandara. Betapa terkejutnya dia mendapati kabar tersebut. Pesawatku mengalami kecelakaan dan dipastikan aku tidak selamat.

Dirinya bersama temannya memastikan kabar tersebut usai mengecek manifest yang disiarkan oleh pihak posko di bandara. Dan, namaku berada di daftar manifest tersebut.

“Iooooooooo…….”

Wendy berteriak sedih.

“Enggak bisa begitu, Io….”

Temannya berusaha menenangkannya.

“Io udah enggak ada, Wen…tenangin diri lo…”

“Cepet banget dia ninggalin gue…..”

Mereka saling berusaha menenangkan diri walaupun sulit untuk dilakukan.