Montir-montir perkasa
Hari itu, sekitar jam tiga sore aku bersama sepupuku, Ellen baru saja sampai di rumahnya setelah jalan-jalan di mall. Setengah jam kami disana nonton VCD sampai pacarnya yang bernama Winston datang. Memang sih hari itu aku bermain ke sini agar bisa sekalian sorenya mengambil mobilku yang sedang di service rutin di sebuah bengkel di daerah Jakarta Timur yang kebetulan tidak terlalu jauh dari rumah Ellen. Pas sekali saat itu Winston datang untuk nge-date jadi aku bisa ikut menumpang diantar ke bengkel itu.
Kamipun berangkat dari rumahnya dengan mobil BMW-nya Winston. Walaupun tidak terlalu jauh namun kami sedikit terjebak macet karena saat itu jam bubaran. Yang kukhawatirkan adalah takutnya bengkelnya keburu tutup, kalau begitu kan aku mau tidak mau harus tetap menumpang pada Winston padahal mereka mau pergi nonton dan aku tidak mau mengganggu kebersamaan mereka. Akhirnya tiba juga kami di bengkel itu tepat ketika akan tutup.
“Wah… sudah mau tutup tuh Ci, mendingan cepetan lari turun, siapa tahu masih keburu,” kata Ellen.
“Tanyain dulu Ci, kita tunggu kamu di sini, kalau ternyata belum bisa ambil, kamu ikut kita jalan aja,” Winston memberi saran.
Akupun segera turun dan setengah berlari ke arah pegawai yang sedang mendorong pintu.
“Mas… Mas tunggu, jangan ditutup dulu, saya mau ngambil mobil saya yang Hyundai warna merah yang dititip kemarin Selasa itu loh!” kataku dengan terburu-buru.
“Tapi kita sudah mau tutup non, kalau mau besok balik aja lagi,” katanya.
“Ayo dong, Mas katanya di telepon tadi sudah bisa diambil, tolong dong bentar aja yah, saya sudah ke sini jauh-jauh nih!” desakku.
“Ada apa nih, Kos, kok malah ngobrol,” kata seorang pria yang muncul dari samping belakangnya.
Kebetulan sekali pria itu adalah montir yang menangani mobilku ketika aku membawa mobil itu ke sini, orangnya tinggi dan agak gemuk dengan rambut gaya tentara, usianya sekitar awal empat puluh, belakangan kuketahui bernama Fauzan, agaknya dia tergolong montir yang cukup senior di sini.
Akupun lalu mengutarakan maksud kedatanganku ke sini untuk mengambil mobilku itu padanya. Awalnya sih dia juga menyuruhku kembali lagi besok karena bengkel sudah tutup, tapi karena terus kubujuk dan kujanjikan bonus uang rokok akhirnya dia menyerah juga dan mempersilakanku masuk menunggu di dalam. Sebenarnya sih kalau bengkelnya dekat dengan rumahku aku juga bisa saja kembali besok, tapi masalahnya letak tempat ini cukup jauh dari rumahku dan macet pula, kan BT banget kalau harus dua kali jalan.
Aku melambaikan tangan ke arah Ellen dan Winston yang menunggu di mobil pertanda masalah sudah beres dan mereka boleh pergi, merekapun membalas lambaianku dan mobil itu berjalan meninggalkanku. Pak Fauzan menjelaskan padaku tentang kondisi mobilku, dia bilang bahwa semuanya ok-ok saja, kecuali ada sebuah onderdil di bagian bawah mobil yang sebentar lagi tidak layak pakai karena sudah banyak berkarat (sory… Aku tidak mengerti otomotif selain menggunakannya, sampai lupa nama onderdil itu). Karena memikirkan kenyamanan jangka panjang, aku menanyakan kalau bagian itu diganti sekarang memakan waktu lama tidak, ongkos sih tidak masalah. Setelah berpikir sesaat dia pun mengiyakannya dan menyuruhku duduk menunggu.
Sejumlah pegawai dan kasir wanita sudah berjalan ke pintu keluar meninggalkan tempat ini. Di ruangan yang cukup luas ini tinggallah aku dengan Pak Fauzan serta beberapa montir yang sedang menyelesaikan pekerjaan yang tanggung. Seluruhnya ada empat orang di ruangan ini termasuk aku yang satu-satunya wanita.
“Masih banyak kerjaannya ya Mas?” tanyaku iseng-iseng pada montir brewok di dekatku yang sedang mengotak-atik mesin depan sebuah Kijang.
“Dikit lagi kok Non, makanya mending diselesaikan sekarang biar besoknya lebih santai,” jawabnya sambil terus bekerja.
Tidak jauh dari tempat dudukku Pak Fauzan sedang berjongkok di sebelah mobilku dan di sebelahnya seorang rekannya yang cuma kelihatan kakinya sedang berbaring mengerjakan perkerjaannya di kolong mobil. Ternyata pekerjaan itu lama juga selesainya, seperempat jam sudah aku menunggu. Melihat situasi seperti ini, timbullah pikiran isengku untuk menggoda mereka. Hari itu aku memakai kaos ketat oranye berlengan panjang yang dadanya agak rendah, lekuk tubuhku tercetak oleh pakaian seperti itu, bawahnya aku memakai rok hitam yang menggantung beberapa senti di atas lutut. Maka bukanlah hal yang aneh kalau para pria itu di tengah kesibukannya sering mencuri-curi pandang ke arahku, apalagi sesekali aku sengaja menyilangkan kakiku.
Aku berjalan ke arah mobilku dan bertanya pada Pak Fauzan,
“Masih lama ya Pak?”
“Hampir Non, ini yang susah tuh melepas yang lamanya, habis sudah berkarat, sebenarnya sih pasangnya gampang saja, bentar lagi juga beres kok”
“Perlu saya bantuin enggak? anganku.com Bosen dari tadi nunggu terus,” tanyaku sambil dengan sengaja berjongkok di hadapannya dengan lutut kiri bertumpu di lantai sehingga otomatis paha putih mulusku tersingkap kemana-mana dan celana dalam merahku juga terlihat jelas olehnya.
Dia terlihat gugup dan matanya tertumbuk ke bawah rokku yang kelihatan karena posisi jongkokku. Aku yakin burungnya pasti sudah terbangun dan memberontak ingin lepas dari sangkarnya. Namun aku bersikap biasa saja seolah tidak mengetahui sedang diintip.
“Oohh… nggak… nggak kok Non,” jawabnya terbata-bata.
“Hhoii… Obeng kembang dong,” sahut montir yang dari dalam sambil mendorong kursi berbaringnya keluar dari kolong.
Begitu keluar diapun ikut terperangah dengan pemandangan indah di atas wajahnya itu. Keduanya bengong menatapku tanpa berkedip.
“Kenapa? Kok bengong? Liatin apa hayo…?” godaku dengan tersenyum nakal.
Kemudian kuraih tangan si montir yang sedang berbaring itu dan kuletakkan di paha mulusku, memang sih tangannya kotor karena sedang bekerja tapi saat itu sudah tidak terpikir hal itu lagi. Tanpa harus disuruh lagi tangan kasar itu sudah bergerak dengan sendirinya mengelus pahaku hingga sampai di pangkalnya, disana dia tekankan dua jarinya di bagian tengah kemaluanku yang masih tertutup CD.
“Ooohhh…” desahku merasakan remasan pada kemaluanku.
Pak Fauzan menyuruhku berdiri dan didekapnya tubuhku serta langsung menempelkan bibirnya yang tebal dan kasar pada bibir mungilku. Tangannya mengangkat rokku dan menyusup ke dalam celana dalamku. Temannya tidak mau ketinggalan, setelah dia mengelap tangannya dia dekap aku dari belakang dan mulai menciumi leher jenjangku, hembusan nafas dan lidahnya yang menggelikitik membuat birahiku semakin naik. Payudaraku yang masih tertutup baju diremasi dari belakang, tak lama kemudian kaos Mango-ku beserta bra-ku sudah disingkap ke atas. Kedua belah payudaraku digerayangi dengan gemas, putingnya terasa makin mengeras karena terus dipencet-pencet dan dipilin-pilin.
“Hei, ngapain tuh, kok nggak ngajak-ngajak!” seru si montir brewok yang memergoki kami sedang berasyik-masyuk.
Montir di belakangku melambai dan memanggil si brewok untuk ikut menikmati tubuhku. Si brewok pun dengan girang menghampiri kami sambil mempreteli kancing baju montirnya, kurang dari selangkah di dekatku dia membuka seluruh pakaiannya.
Wow… Bodynya padat berisi dengan dada bidang berbulu dan bulunya turun saling menyambung dengan bulu kemaluannya. Dan yang lebih membuatku terpesona adalah bagian yang mengacung tegak di bawah perutnya, pasti tak terlukiskan rasanya ditusuk benda sebesar pisang raja itu, warnanya hitam dengan kepala penis kemerahan. Dia berjongkok di depanku dan memelorotkan rok dan celana dalamku.
“Wah, asyik jembutnya item lebat banget, gua paling suka vagina kaya gini,” si brewok mengomentari vaginaku.
Pak Fauzan dan temannya pun mulai melepasi pakaiannya masing-masing hingga bugil. Terlihatlah batang-batang mereka yang sudah menegang, namun aku tetap lebih suka milik si brewok karena nampak lebih menggairahkan, milik Pak Fauzan juga besar dan berisi, namun tidak terlalu berurat dan sekeras si brewok, sedangkan punya temannya lumayan panjang, tapi biasa saja, standarnya pribumi Indonesialah. Aku sendiri tinggal memakai kaos ketat dan bra-ku yang sudah tersingkap.
Kaki kiriku diangkat ke bahu si brewok yang berjongkok sambil melumat vaginaku. Teman Pak Fauzan yang dipanggil ‘Zul’ itu menopang tubuhku dengan mendekap dari belakang, tangannya terus beraktivitas meremas payudara dan pantatku sambil memainkan lidahnya di lubang telingaku. Pak Fauzan sendiri kini sedang menetek dari payudara kananku. Aku menggelinjang dahsyat dan mendesah tak karuan diserbu dari berbagai arah seperti itu. Tanganku menggenggam penis Pak Fauzan dan mengocoknya perlahan.
“Oookkhh… Jangan terlalu keras,” rintihku sambil meringis ketika Pak Fauzan dengan gemas menggigiti putingku dan menariknya dengan mulut, secara refleks tanganku menjambak pelan rambutnya.
Sementara si brewok di bawah sana menyedoti dalam-dalam vaginaku seolah mau ditelan. Dia memasukkan lidahnya ke dalam vaginaku sehingga memberi sensasi geli yang luar biasa padaku, klitorisku juga dia gigit pelan dan digelikitik dengan lidahnya. Pokoknya sangat sulit dilukiskan dengan kata-kata betapa nikmatnya saat itu, jauh lebih nikmat dari mabuk anggur manis. Aku menengokkan wajah ke samping untuk menyambut Zul yang mau melumat mulutku. Lihai juga dia berciuman, lidahnya menjilati lidahku dan menelusuri rongga mulutku, nafasku seperti mau habis rasanya.
Kemudian mereka membaringkanku di kursi untuk berbaring di kolong mobil itu (whateverlah namanya aku tidak tahu nama barang itu ^_^;). Zul langsung mengambil posisi di selangkanganku, tapi segera dicegah oleh Pak Fauzan yang menginginkan jatah lubang lebih dulu. Setelah dibujuk-bujuk Zul pun akhirnya mengalah dari Pak Fauzan yang lebih senior itu. Sebagai gantinya dia mengambil posisi di dekat kepalaku dan menyodorkan penisnya padaku. Kumulai dengan menjilati batang itu hingga basah, lalu buah zakarnya kuemut-emut sambil mengocok batangnya.
Walaupun agak bau tapi aku sangat menikmati oral seks itu, aku senang membuatnya mengerang nikmat ketika kujilati lubang kencing dan kepala penisnya. Pak Fauzan yang sudah selesai dengan pemanasan dengan menggesekkan penisnya pada bibir vaginaku kini sudah mengarahkan penisnya ke liang senggamaku. photomemek.com Aku menjerit kecit ketika benda itu menyeruak masuk dengan sedikit kasar, selanjutnya dia menggenjotku dengan gerakan buas. Aku meresapi setiap detil kenikmatan yang sedang menyelubungi tubuhku, semakin bersemangat pula aku mengemut penis si Zul, kumainkan lidahku di sekujur penis itu untuk menambah kenikmatan pemiliknya. Dia mengerang keenakan atas perlakuanku yang memanjakan ‘adik kecil’nya. Rambutku diremas-remas sambil berkata:
“Oooh… Terus Non, enak banget… Yahhh!”
Tanganku yang lain tidak tinggal diam ikut mengocok punya si brewok yang pada saat yang sama sedang melumat payudaraku. Dia sangat menikmati setiap jengkal payudaraku, dia menghisapnya kuat-kuat diselingi gigitan-gigitan yang meninggalkan jejak merah di kulitnya yang putih. Sungguh kagum aku dengan penisnya dalam genggamanku, yang benar-benar keras dan perkasa membuatku tidak sabar ingin segera mencicipinya. Maka aku melepaskan emutanku pada penis Zul dan berkata pada si brewok,
“Sini dong Mas, gua mau nyepong kontolnya!”
Si brewok langsung menggantikan Zul dan menyodorkan penisnya padaku. Hmm… Inilah yang kutunggu-tunggu, aku langsung membuka lebar-lebar mulutku untuk memasukkan benda itu. Tentu saja tidak muat seluruhnya di mulut mungilku malah terasa sesak. Si Zul menggosok-gosokkan penisnya yang basah ke wajahku. Sambil dioral, tangan si brewok yang kasar dan berbulu itu meremasi payudaraku dengan brutal. Di sisi lain, Pak Fauzan melepaskan sepatu bersol tinggi yang kupakai, lalu menaikkan kedua tungkaiku ke bahu kirinya, sambil menggenjot dia juga menjilati betisku yang mulus. Aku benar-benar terbuai oleh kenikmatan main keroyok seperti ini.
Tiba-tiba kami terhenti sejenak karena terdengar suara pintu di buka dari dalam dan keluarlah seorang yang hanya memakai singlet dan celana pendek, tubuhnya agak kurus dan berusia sepantaran dengan Pak Fauzan dengan jenggot seperti kambing. Aku mencoba mengingat-ingat orang ini, sepertinya pernah lihat sebelumnya, ooohh… Iya itu kan montir yang mendengar dan mencatat masalah yang kuceritakan tentang mobilku ketika aku membawanya ke sini. Sepertinya dia baru mandi karena rambutnya masih basah dan acak-acakan. Sebelumnya dia agak terperanjat dengan apa yang dia lihat tapi kemudian dia mendekati kami.
“Weleh-weleh… Gua sibuk cuci baju di belakang, kamu-kamu malah pada enak-enakan ngentot,” katanya “Lho, ini kan si Non cantik yang mobilnya diservis itu!”
“Sudah jangan banyak omong, mau ikutan nggak!” kata si brewok padanya.
Buru-buru si montir yang bernama Joni itu melepaskan celananya dan kulihat penisnya bagus juga bentuknya, besar dengan otot yang melingkar-lingkar. Tiga saja belum selesai sudah datang satu lagi, tambah berat deh PR gua, demikian kataku dalam hati. Pak Joni mengambil posisi di sebelah kananku, tangannya menjelajah kemana-mana seakan takut tidak kebagian tempat. Payudara kananku dibetot dan dilumat olehnya sampai terasa nyeri. Aku mengerang sejadi-jadinya antara kesakitan dan kenikmatan, semakin lama semakin liar dan tak terkendali.
Pak Fauzan dibawah sana makin mempercepat frekuensi genjotannya pada vaginaku. Lama-lama aku tidak sanggup lagi menahan cairan cintaku yang semakin membanjir. Di ambang puncak aku semakin berkelejotan dan tanganku semakin kencang mengocok dua batang penis di genggamanku yaitu milik Pak Joni dan Bang Zul. Zul juga menggeram makin keras dan Crot… Crot… Cairan putih kentalnya menyemprot dan berceceran di wajah dan rambutku. Sementara otot-otot kemaluanku berkontraksi makin cepat dan cairan cintaku pun tak terbendung lagi. Aku telah mencapai puncak, tubuhku mengejang hebat diiringi erangan panjang dari mulutku, tapi dia masih terus menggenjotku hingga tubuhku melemas kembali. Setelah dia cabut penisnya, diturunkannya juga kakiku.
“Gantian tuh, siapa mau vagina?” katanya.
Si brewok langsung menggantikan posisinya, sebelumnya dia menjilati dan menyedot cairan vaginaku dengan rakus bagaikan menyantap semangka. Pak Fauzan menaiki dadaku dan menjepitkan penisnya yang sudah licin diantara payudaraku. Dia memaju-mundurkannya seperti yang dia lakukan terhadap vaginaku, tidak sampai lima menit, spermanya muncrat ke muka dan dadaku, kaosku yang tergulung juga ikut kecipratan cairan itu. Pak Fauzan mengelap spermanya yang berceceran di dadaku sampai merata sehingga payudaraku nampak mengkilap oleh cairan itu. Kujilati sperma di sekitar bibirku dengan memutar lidah.
Si brewok minta ganti gaya, kali ini dia berbaring di kursi montir. Tanpa diperintah aku menurunkan tubuhnya sambil membuka lebar liang senggamaku dengan jari. Tanganku yang lain membimbing batang itu memasuki liang itu. Aku menggigit bibir dan mendesis saat penis itu mulai tertancap di vaginaku. Hingga akhirnya seluruh batang itu tertelan oleh liang surgaku, rasanya sangat sesak dan sedikit nyeri dijejali benda sekeras dan sebesar itu, aku dapat merasakan urat-uratnya yang menonjol itu bergesekan dengan dinding vaginaku.
Aku belum sempat beradaptasi, dia sudah menyentakkan pinggulnya ke atas, secara refleks aku menjerit kecil. Sekali lagi dia sentakkan pinggulnya ke atas sampai akupun ikut menggoyangkan tubuhku naik-turun. Mataku merem-melek dan kadang-kadang tubuhku meliuk-liuk saking nikmatnya. Kuraih penis Pak Joni di sebelah kiriku dan kukulum dengan bernafsu, begitu juga dengan penis Pak Fauzan, batang yang sedang kelelahan itu kukocok-kocok agar bertenaga lagi, sisa-sisa spermanya kujilati hingga bersih. Kurasakan ada dua jari memasuki anusku, mengoreki lalu bergerak keluar-masuk di sana, aku menengok ke belakang ternyata pelakunya Bang Zul yang entah kapan sudah di belakangku.
Mungkin karena ketagihan dikaraoke olehku, Pak Joni memegangi kepalaku dan menekannya pada selangkangannya, lalu dia maju-mundurkan pinggulnya seperti sedang bersenggama. Aku sempat gelagapan dibuatnya, kepala penis itu pernah menyentuh tekakku sampai hampir tersedak. Namun hal itu tidak mengurangi keaktifanku menggoyang tubuhku dan mengocok penis Pak Fauzan dengan tangan kiriku. Payudaraku yang ikut bergoyang naik-turun tidak pernah sepi dari jamahan tangan-tangan kasar mereka.
Sepertinya Bang Zul mau main belakang karena dia melebarkan duburku dengan jarinya dan sejenak kemudian aku merasakan benda tumpul yang tak lain kepala penisnya melesak masuk ke dalamnya. Ketiga lubang senggamaku penuh sudah terisi oleh tiga penis. Penis Pak Joni dalam mulutku makin bergetar dan pemiliknya pun makin gencar menyodok-nyodokkannya pada mulutku hingga akhirnya menyemprotkan spermanya di mulutku. Belum habis semprotannya dia menarik keluar benda itu (thank god, akhirnya bisa menghirup udara segar lagi) sehingga sisanya menyemprot ke wajahku, wajahku yang sudah basah oleh sperma Bang Zul dan Pak Fauzan jadi tambah belepotan oleh spermanya yang lebih kental dari milik dua orang sebelumnya.
“Aahh… Aahh… Dikit lagi Bang!” desahku karena sudah akan klimaks lagi.
Cairan cinta terasa terus mengucur membasahi rongga-rongga kemaluanku bersamaan dengan penis si brewok yang terasa makin membengkak dan sodokannya yang makin gencar. Otot-ototku menegang dan desahan panjang keluar dari mulutku akibat orgasme panjang bersama si brewok. Cairan hangat dan kental menyemprot hampir semenit lamanya di dalam lubang vaginaku. Akhirnya tubuhku kembali melemas dan jatuh telungkup di atas dada yang bidang berbulu itu dengan penis masih menancap, sementara dari belakang Bang Zul masih getol menyodomiku tanpa mempedulikan kondisiku sampai dia menumpahkan spermanya di anusku lima menit kemudian. Setelah beristirahat lima menit, Pak Fauzan mengangkat tubuhku diatas kedua tangannya dan membawaku ke ruangan lain yang adalah tempat pencucian mobil bersama teman-temannya.
“Eh, mau ngapain lagi kita nih Pak?” tanyaku heran.
“Kita mau mencuci Non dulu soalnya sudah lengket dan bau peju sih,” jawabnya sambil nyengir, kemudian memerintah si brewok untuk menyiapkan selang air.
Pelan-pelan dia turunkan aku, tapi aku masih belum sanggup berdiri karena masih lemas sekali, jadi aku hanya duduk bersimpuh saja di lantai marmer itu.
“Bajunya dilepas aja Non biar nggak basah,” katanya sambil membantuku melepaskan kaosku yang tergulung.
Aku kini telah telanjang bulat, hanya jam tangan, anting, dan seuntai kalung perak dengan leontin huruf C yang masih tersisa di tubuhku. Si brewok menyalakan krannya dan mengarahkan selang itu padaku.
“Awww… Dingin!” desahku manja merasakan dinginnya air yang menyemprot padaku.
Pak Joni melepaskan singletnya dan bersama dua orang lainnya mendekati tubuhku yang masih disemprot si brewok, ketiganya mengerubungi tubuhku sambil tertawa-tawa. Aku lalu diberdirikan dan didekap mereka, tangan-tangan mereka menggosoki tubuhku untuk membasuh ceceran sperma yang lengket di sekujur tubuhku seperti sedang memolesi mobil dengan cairan pembersih.
Beberapa menit lamanya si brewok menyirami kami dengan air dingin sehingga tubuh kami basah kuyup. Sesudah itu dia juga ikut bergabung menggerayangiku. Pak Joni mendekapku dari depan, setelah puas menciumi dan meremas payudaraku dia menaikkan kaki kananku ke pingggangnya dan memasukkan penisnya ke vaginaku, mereka mengerjaiku dalam posisi berdiri. Pak Fauzan merangkulku dari belakang dan tak henti-hentinya mencupangi pundak, leher dan tengukku. Bang Zul berjongkok meremasi dan menjilati pantat montokku yang terangkat dengan gemasnya. Si brewok menggerayangi payudaraku yang lain sambil menggelikitik telingaku dengan lidahnya. Desahan nikmatku terdengar memenuhi ruangan itu. Beberapa menit kemudian Pak Joni klimaks dan menumpahkan spermanya di dalam vaginaku. Ini masih belum berakhir, karena setelahnya tubuhku mereka telentangkan di atas kap depan sebuah sedan berwarna silver metalik dan kembali aku disemprot dengan selang air hingga semakin basah.
Bang Zul membentangkan pahaku dan menancapkan penisnya ke vaginaku. Mungkin karena sudah terisi penuh, maka ketika penis itu melesak ke dalamku, nampak sperma kental itu meluap keluar dari sela-sela bibir vaginaku. Aku kembali orgasme yang kesekian kalinya, tubuhku menggelinjang di atas kap mobil itu. Kemudian tak lama kemudian dia pun mencabut penisnya dan menumpahkan isinya di atas perut rataku. Akhirnya selesai juga mereka mengerjaiku, aku terbaring lemas diatas kap, rasanya pegal sekali dan sedikit kedinginan karena basah.
Mereka juga sudah kecapean semua, ada yang duduk mengatur nafas, ada juga yang mengelap badannya yang basah. Pak Fauzan memberiku sebuah Aqua gelas dan handuk kering. Aku menggerakkan tangan menghanduki tubuhku yang basah. Setelah Pak Fauzan dan Bang Zul selesai memasang onderdil yang tertunda, selesai pula perbaikan mobilku. Aku membayarkan biayanya pada Pak Fauzan yang ternyata masih saudara dengan pemilik bengkel ini, pantas dari tadi montir lain tunduk padanya. Aku juga memberi tambahan sepuluh ribu rupiah sebagai uang rokok untuk dibagi antara mereka berempat. Sampai di rumah aku langsung tidur dengan tubuh pegal-pegal, janji ke kafe dengan teman-teman pun terpaksa kubatalkan dengan alasan tidak enak badan.,,,,,,,,,,,,,,,,,
TAMAT