Seperti sore-sore sebelumnya, duduk terpaku menatap mentari saat-saat akhir menjelang malam. Warna jingga yang menerawang jatuh ke pangkuan senja yang kian menawan. Kesendirianku beberapa hari ini menciptakan lamunan-lamunan indah dan menempati hampir seluruh ruang dalam benakku. Seiring jatuhnya mentari ke kaki langit ufuk barat sana, semakin terasa nuansa lain yang mendesir di pelataran khayalku. Semilir angin mamiri Kota Daeng, Makassar, seakan membangkitkan lagi debaran-debaran yang makin terasa bergejolak di dadaku. Raut wajah datar menatap mentari yang makin tenggelam. Seiring dengan terbayang kembalinya sebuah kejadian yang tentu saja masih segar dalam ingatan. Dua minggu lalu. Andai saja waktu bisa berulang. Tapi tidak! Waktu terus berlalu membawa kejadian demi kejadian.
Lita, seorang yang baru kukenal kira-kira akhir April kemarin di salah satu mall yang ada di kota ini. Perawakan wajah datar, sederhana, dengan body yang lumayan aduhai. Tinggi 169 cm dengan berat 57 kg. Kulit sawo matang, layaknya orang kebanyakan. Potongan rambut pendek, sangat serasi dengan wajah dan postur tubuhnya yang langsing, seksi. Lita, umurnya kira-kira 32 tahun, seorang pegawai PNS, di salah satu instansi yang ada di daerah ini. Dari perkenalan yang tak sengaja itu, akhirnya kemudian berbuntut dengan janji untuk bertemu lagi setelah dia memberikan nomor telepon kantornya untuk kemudian kami pun berpisah.
Bermula dari telepon-teleponan ke kantornya, tentu saja saat jam kantor. Akhirnya suatu hari, kira-kira 5 hari setelah pertemuan itu. Tepatnya hari Sabtu, setahuku, hari Sabtu jam kantor pegawai hanya sampai jam 12:00 siang. Janji bertemu di sebuah restorant fast food di sebuah mall yang terletak tidak jauh dari rumah dinas gubernur. Dan sesuai janji, jam 12:45 WITA, Lita muncul dengan seorang teman wanita. Kalau kutaksir umur teman Lita itu, kira-kira sebaya dengan Lita, 32 tahun, karena garis wajah yang tidak beda jauh dengan Lita. Seorang wanita berperawakan manis, kulit putih, menurut dugaanku dia dari utara, Manado (maaf) mungkin.
Entahlah, karena sepanjang pertemuan dengan Lita dan temannya itu, aku tak pernah menanyakan asal usulnya. Hanya sempat menanyakan namanya, Linda. Lita yang dari pengamatanku selama pertemuan itu, perkiraanku, Lita menggunakan bra berukuran 36 dan Linda menggunakan bra berukuran 34. Tinggi Linda pun sedikit di bawah Lita. Hanya saja rambut Linda yang sepunggung membuat dia kelihatan lebih asyik. Saat itu, kedua teman baruku itu masih menggunakan pakaian kantor, seragam coklat.
Hingga selesai makan di restoran fast food tersebut, aku diajak ke rumah Linda. Sesuai dengan permintaan Linda yang minta tolong untuk membetulkan VCD-nya yang tidak bisa di on. Dengan taxi kami pun berangkat bertiga ke rumah Linda yang ternyata agak jauh dari tempat kami bertemu tadi. Di sebuah perumahan di kawasan utara kota Makassar. Setelah kira-kira setengah jam di taxi, akhirnya sampai ke rumah Linda. Turun dari taxi kuperhatikan rumah tersebut kosong. Dan setelah kutanyakan pada Linda, katanya memang dia tinggal sendiri. Padahal menurut perkiraanku, Linda ini sudah bersuami. Lain halnya dengan Lita yang memang sejak pertemuan pertama kami sudah aku tahu kalau dia sudah berkeluarga dan mempunyai seorang anak perempuan sudah kelas 6 SD.
Mereka mempersilakan aku duduk, sementara Lita dan Linda, katanya, akan mengganti pakaian dulu. Sambil memperlihatkan VCD-nya, Linda masuk kamar disusul Lita. Dari dalam kamar terdengar Linda memintaku untuk melihat-lihat peralatan VCD tersebut yang berada satu tempat dengan televisi. Setelah kuperiksa, ternyata kabel powernya putus. Tidak lama kemudian Lita sudah berdiri di sampingku. Sesaat kulirik dia, Lita menggunakan sebuah daster, umumnya wanita, menggunakan daster saat sudah berada di rumah. Hanya saja yang ada lain dari penglihatanku saat itu, Lita sepertinya tidak menggunakan bra. Meski tak tampak begitu jelas putingnya karena dasternya berwarna gelap, biru tua. Yang lebih membuat aku tak bisa berkonsentrasi lagi adalah ternyata daster tersebut pendek. Hanya setelah paha. Dapat dibayangkan, postur tinggi 169 cm dengan daster pendek setengah paha dan porsi tubuh yang padat, tentu saja hal ini membuat debaran yang lain. Berdesir, rasanya.
Aku terkesima saat itu. Lita ternyata memperhatikan tingkahku yang mulai agak gelisah. Dia mendehem dan kemudian tersenyum saja untuk akhirnya dia duduk di tempatku duduk tadi. Alamak, itu paha makin terlihat jelas. Aku semakin salah tingkah. Setelah selesai menyambung kabel tersebut, aku bertanya ke Lita kenapa tidak pulang ke rumahnya. Dia malah tertawa kecil sambil menjawab bahwa suaminya sedang ada tugas ke daerah dan anaknya di rumah ditemani adiknya.
Kucoba terus menenangkan perasaan yang kian tak karuan. Aku berhasil, sesaat kemudian kunyalakan TV dan VCD, kuraih disk yang ada di dekat TV. Ternyata memang cuma masalah kabel. photomemek.com VCD tersebut sudah berfungi dengan baik. Tapi tanpa sengaja, ternyata VCD tersebut sebuah VCD XX. Saat aku akan mematikan TV dan VCD tersebut, tanganku ditepis Linda yang dari ruang tengah membawa tiga gelas minuman sirup. Katanya biar saja, sambil meleparkan senyuman ke arah Lita. Paling tidak senyuman itu aku tahu maksudnya. Upss..! Ada apa ini, tanyaku dalam hati sejenak hingga sesaat kemudian aku sudah sadar maksud semua ini. Baiklah sambutku lagi dalam hati, aku akan ladeni permainan ini.
Kuperhatikan Linda dengan menggunakan baju kaos yang sangat pendek hingga pusarnya kelihatan. Dan tampak jelas puting Linda menyembul dari balik kaos putih tersebut. Sengaja, begitu bisikku dalam hati. Linda mengenakan celana pendek yang juga berwarna putih tapi tipis. Hingga tampak samar CD hitam yang dia kenakan. Itu terlihat jelas ketika Linda hendak menyimpan nampan di meja dekat TV. Sementara Lita saat itu duduk dalam posisi yang sangat menantang, kaki di kangkang dengan tangan kirinya sudah mengusap-usap selangkangannya. Gila, jeritku dalam hati, berani sekali perempuan ini. Dan kenapa pula dia tidak malu padaku.
Tanpa kusadari, ternyata sesuatu yang tegang tengah menyembul dari balik celana kain yang kukenakan. Linda memperhatikan hal itu, hingga saat kembali kutatap Linda, dia tersenyum dan kemudian melirik ke arah selangkanganku. Hal itu membuatku salah tingkah, tapi kemudian kuacuhkan. Biar saja, toh mereka juga saat ini lagi terangsang, pikirku. Tapi ternyata, keberanianku hanya sebatas khayalanku saja. Toh sesaat kemudian posisi duduk kuperbaiki, rasanya aku masih malu dengan tonjolan di celanaku. Dengan wajah yang masih merah malu, aku menunduk. Tapi tentu saja aku tetap mencuri pandang bergantian ke kedua wanita itu secara bergantian.
Entahlah, kedengarannya adegan di layar TV itu sedang hot-hotnya, karena terdengar erangan-erangan yang makin membuatku terangsang. Tapi aku kurang begitu memperhatikan adegan di TV itu. Yang ada dalam ruang pikiranku saat itu hanyalah, kedua wanita yang makin hot ini. Yang lebih mengagetkan lagi, sejurus kemudian, Linda telah membuka semua pakaiannya, telanjang bulat. Dan.. wow.. rambut yang lebat di selangkangannya, sangat menantang hasratku sebagai laki-laki. Tapi sekali lagi, hasrat itu aku harus terbendung dengan ketidakberanianku.
Saat kumenoleh ke arah Lita, hah.. dia pun sudah mulai membuka satu persatu pakaian yang dia kenakan. Kedua wanita ini tanpa busana. Hah.. rasanya nafasku kian memburu. Entah bagaimana lagi harus kuatur, tapi tetap saja aku terengah-engah. Hingga kucoba menenangkan diri, 1 detik, 2 detik.. 9 detik dan kira-kira 10 detik.. dan aku pun berhasil.. aku berhasil mengatasinya. Tapi ternyata pada saat itu, Lita dan Linda sudah duduk di sebelah kiri dan kananku. Dan yang lebih membuatku tambah gugup adalah ternyata kancing celana dan bajuku sudah terlepas. Sempat terbetik dalam hatiku, ke mana saja aku dan apa pula ini? Pertanyaan yang terlintas dalam benakku, menjadi basi dalam waktu yang kurang dari beberapa detik.
Sementara aku masih dalam ketidakberdayaan gerak, terpaku, Lita telah mengulum batanganku yang ternyata sudah tegang. Dan pada saat yang lain, Linda dengan ganas dan bertubi-tubi menciumi dadaku. Syaraf normalku rasanya tidak berkerja, entahlah, tanganku yang berada dalam bimbingan tangan Linda mengarahkan dan menuntunnya mengusap-usap selangkangannya. Licin. Masih saja aku dalam ketidakberdayaan gerak yang memakuku dalam nuansa birahi.
Kesadaranku bangkit pada saat di mana aku bukan menjadi diriku lagi, seperti sebuah perintah yang menggelegar, saat syarafku menggerakkan birahiku. Aku pun mulai bereaksi, tapi keadaanku dalam posisi yang kalah. Aku telah ditelanjangi mereka. Tapi belum terlambat untuk memberikan perlawanan. Tangan yang tadinya dituntun Linda ke selangkangannya, kini dengan lincah dan lihai mempermainkan daerah terlarangnya yang di kelilingi rambut yang hitam.
Batanganku yang dalam kuluman menghentak-hentak menikmati lincahnya lidah Lita yang mengisap dan menelusuri seluruh permukaan kepala batanganku. Tapi hal ini tidak bertahan lama, sepertinya mereka telah sepakat sebelumnya, posisi mereka berganti. Kini Lita yang mengulum kemaluanku, dan Linda yang memintaku mengelus-elus selangkangannya. Bukan itu saja, bahkan Lita menuntun jari tengah tangan kiriku untuk memasukkannya ke dalam lubang kemaluannya. Wow.. basah dan licin yang membuat tidak ada halangan apa-apa hingga jari tengah kiriku kugerakkan keluar dan masuk di lubang kemaluan Lita. Linda yang bagai kesetanan terus menggerakkan kepalanya, maju dan mundur, hingga kenikmatan hisapan sungguh kian terasa. Aku bukan pemain seks yang hebat, juga bukan menjajal kemaluan wanita yang hebat, aku hanya laki-laki kebanyakan. Selama ini kehidupan seksualku biasa saja, boleh dibilang, tanpa pengalaman. Ini yang pertama dan mungkin yang paling liar.
Senja tentu saja telah berubah malam, matahari telah betul-betul hilang dalam dekapan malam. Dan yang terlihat kini hanyalah burung-burung malam yang terbang mencari cintanya di kegelapan malam. Suasana Losari makin marak. Sepanjang cakrawalaku, terlihat lampu-lampu yang terpasang di gerobak para penjual mulai menerangi sekelilingnya. Suasana hatiku seperti tersentak saat sebuah piring dari gerobak sebelah jatuh dan pecah. Suara gemerincing beling ini mengingatkanku kembali pada suasana di mana birahiku kian berani melangkahkan keinginannya sendiri. Linda dan Lita, yah.. suasana saat itu makin melarutkan kami dalam adegan seksual yang sangat luar biasa.
Linda yang terbaring di ranjang dengan sprei warna pink dengan posisi kaki di tekuk dan di kangkang melebar. Hingga liang kemaluannya menganga dan siap menerima masuknya batanganku. Sekali lagi tanpa susah payah kumasukkan. Amblas.. kubiarkan sejenak merasakan hangatnya kemaluan Linda untuk kemudian mulai kugerakkan perlahan, batanganku tenggelam dan tenggelam dalam liang kemaluan Linda. Untuk sejurus kemudian Lita dengan posisi menungging, liang kemaluannya menganga persis di depan wajahku. Ahh.. aroma yang lain. Ahh.. inikah aroma kemaluan wanita itu yang selama ini hanya kuketahui dari cerita teman-temanku? Pertanyaan yang terjawab dengan sendirinya.
Aku kurang begitu tahu maksud Lita, tapi karena dia memintaku menjilat, maka tanpa pikir panjang, lidahku pun kujulurkan dan mulai mempermainkan bibir kemaluan (yang menurut cerita temanku, bibir kemaluan itu klitoris namanya). Lita menggeliat-geliat menyeiramakan jilatan-jilatanku dengan goyangan pantatnya. anganku.com Sementara Linda yang kian terengah-engah merasakan goyangan-goyangan pinggulku, yang merasakan tenggelamnya batanganku dalam kemaluannya kian mengerang. Andai saja Lita sebelum adegan bersetubuh ini tidak mengoleskan sesuatu (minyak) ke batanganku, mungkin sudah sejak dari tadi maniku sudah keluar, dan tentunya aku sudah terkulai. Bagaimana tidak, menurutku kedua wanita ini mempunyai kelainan seks, maniak kah? Entahlah, tidak begitu menjadi pikiran dalam benakku. Hanya kenikmatan-kenikmatan yang silih berganti dari kedua wanita ini yang menjadi konsentrasiku.
Pada saat aku hendak mencapai puncak kenikmatan, orgasme, tiba-tiba suara-suara pecah piring membuyarkan aktifitas seksual kami. Lita yang kujilat selangkangannya menarik tubuhnya ke depan dan beranjak duduk. Linda yang tengah mengerang-erang tiba-tiba diam dan membelalakkan matanya. Aku sendiri setengah melompat ke tepi ranjang dan kemudian berdiri dengan terlebih dahulu melilitkan kain di pinggangku.
Sial, setelah aku cermati sumber suara itu, ternyata dari belakang. Dari dapur, seekor kucing yang sedang asyik menyantap sisa makanan (mungkin makanan bekas pagi tadi). Dan setelah aku sampaikan pada kedua wanita itu kalau itu hanya seekor kucing yang lagi membongkar dapur, spontan kami tertawa. Saling berpandangan lucu.
Lamunanku tersentak derai tawa 4 orang cewek yang sedang cekikikan dengan guyonan mereka. Nafas kutarik dalam-dalam dan perlahan kuhembuskan keluar. Matahari ternyata sudah tenggelam. Hanya bias rona jingganya yang menyisakan rasa sejuk dan tentram. Belum terkikis ingatan pada kejadian adegan demi adegan hangat yang terjadi. Hmm.. sebentar lagi sore akan berakhir berganti malam.
Sebias senyuman di sudut bibirku. Lucu memang. Tapi juga kaget. Dasar kucing. Hah.. Lita, Linda. Angin apa yang membawa kita bertemu. Dan entah kenapa aku ikut dalam birahi berani kalian. Bunyi jilatan pada kemaluan Lita membuat Linda yang terbaring bangkit bangun dan memperhatikanku yang sedang melakukan itu. Seringai Linda yang penuh nafsu seperti berbisik, dia pun ingin merasakan hal yang sama. Dengan sedikit isyarat, Linda membaringkan tubuhnya di sisi Lita yang sedang menggeliat menikmati jilatanku pada bibir kemaluannya. Kaki Linda terbuka lebar, dan merekahlah liang kenikmatan itu. Sesaat setelah itu, Linda pun tengah merasakan asyiknya jilatan-jilatanku pada kemaluannya.
Tangan Linda tanpa kendali meremas buah dadanya sendiri. Lita, hanya terbaring membentangkan tangannya ke atas kepalanya. Nafasnya sekali-sekali terengah-engah. Tapi tanganku yang kiri tak membiarkan kemaluan Lita kesepian tanpa kenikmatan. Becek, kurasakan bibir kemaluan Lita yang menggeliat-geliat. Sejurus setelah itu, batanganku kembali bangkit dari istirahatnya. Tegang. Kedua kaki Linda kutarik ke tepian ranjang, dan langsung batanganku kumasukkan ke dalam lubang itu. Linda melirik ke kami. Tersenyum. Aku tahu arti senyum itu, ingin. Tanpa banyak aktivitas lain, Linda hanya menggoyangkan pinggulnya ke kanan dan ke kiri. Dan dalam posisi kuda-kuda dengan kaki kukangkang, batanganku tepat pada posisi yang sangat bagus untuk terus menggoyang dan menggoyang maju dan mundur.
Tidak lama kemudian, terasa tubuh Linda menegang, aku tahu itu, Linda hendak orgasme, hal ini membuatku terus mempercepat goyangan. Erangan Linda kian menjadi. Ughh.. Pada saat yang tepat, batanganku kutekan dalam-dalam. Hal ini disambut dengan dekapan erat Linda sambil mendaratkan ciumannya di bibirku. Agak lama dia melakukan itu, mungkin 10 detik, entahlah. Dan akhirnya terkulai lemas terbaring melentang di ranjang.
Lita yang memperhatikan kami dengan baik, mengambil posisi menungging. Kaki yang di kangkang, membuat lebar rekahnya lubang di selangkangannya. Basah. Tak ada aba-aba. Batanganku yang masih tegang, belum orgasme, segera kumasukkan ke liang kemaluan Lita. Batangan itu masih sangat basah oleh cairan kemaluan Linda barusan. Tak perduli, siapa yang perduli, lalu batangan itu pun dengan leluasa memasuki lubang kenikmatan. Lita memang sangat menyukai posisi doggy ini, itu pengakuannya. Entahlah, ternyata memang dosa tak memperdulikan lagi sebuah pemikiran. Dan peluh terus saja mengalir membasahi altar persembahan nista. Tak terpikirkan sebuah atau setumpuk penyesalan. Hanya terjadi dan terjadi. Hingga pada suatu titik dimana kuasa tak lagi mampu dan hasrat telah terpenuhi, ingin yang tercapai dan tenaga yang sudah terkulai lemas. Kami bertiga terhempas terbaring di atas ranjang itu. Kusut. Lemas. Tapi, terpuaskan.
Dan malam, kini mengantar sepenggal jingga yang tersisa di pelupuk barat sana. Seperti juga telah tersisakannya penyesalan setelah kejadian itu. Hanya sepi yang membahana dalam rongga memori tentang adegan gila itu. Asmara memang kadang berarti lain. Atau kadang membisukan norma. Jingga yang tertinggal memaksaku beranjak hendak pulang. Dan pantai ini menjadi tempat kuhanyutkannya keinginan-keinginan liar. Hingga.. Saat HP-ku berdering, dan sebuah nama yang tertera di displaynya, Linda.
Hening sesaat dalam deringan itu. Aku berpikir sejenak. Haruskah? Entahlah, aku hanya diam menyaksikan dan mendengarkan deringan demi deringan. Hingga terputus. Hening kembali. Artinya, biarkan saja Linda dan Lita lewat, walau telah menyisihkan setumpuk kejadian, adegan, dan banyak lagi hal menjadi bagian dari penyesalan.
Tamat
,,,,,,,,,,,,,,,,